CSR Perusahaan Pada Masa Kini
Pada pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan secara singkat semua hal yang berhubungan dengan pribadi William Soerjadjaja sebagai Bapak CSR Indonesia yang legendaris. Kali ini, dengan menggunakan legenda tersebut sebagai titik acuan, kita akan mengamati perilaku dan kiprah beberapa perusahaan yang terkenal pada saat ini berkaitan dengan CSR yang mereka lakukan. Untuk itu saya mengambil dua contoh perusahaan yaitu Aqua Golden Mississipi dan Sugar Group Company, yang merepresentasikan dua karakter CSR yang saling bertolak belakang. Bagaimana mereka berjanji melaksanakan dan apa saja fakta yang terjadi terkait di dalam prosesnya?
I.Aqua Golden Mississipi (AGM)
Siapa sih yang tidak kenal nama AQUA? Mungkin tanpa kita sadari, hidup kita telah menjadi tidak lengkap jika kita belum mengkonsumsi produk dari merek mendunia ini. Aqua merupakan pelopor bisnis air minum dalam kemasan (AMDK), dan saat ini menjadi produsen terbesar di Indonesia. Pangsa pasarnya di luar negeri juga meliputi Singapura, Malaysia, Fiji, Australia, Timur Tengah, dan Afrika. Untuk bentuk galon, mereka menguasai 80% pangsa pasar Indonesia. Untuk keseluruhan bisnisnya, Aqua memiliki 50% marketshare. (Batubara, 2010)
Produsen AMDK merek Aqua, yang dulu hanya bernama PT. Golden Mississipi, dulunya didirikan oleh Tirto Utomo pada 23 Februari 1974, dan bernaung di bawah PT. Tirta Investama. Pabrik pertamanya didirikan di Bekasi. Awalnya, banyak yang meragukan bahkan menganggap aksi Tirto Utomo sebagai langkah ‘guyonan’. Zaman dulu sudah menjadi kebiasaan di Jawa, kalau mau minum air tinggal ambil saja di sumur atau dari kendi-kendi air yang sering diletakkan di depan rumah masyarakat. Namun beberapa tahun setelahnya, orang Indonesia justru mulai mengkonsumsi air minum dengan membeli merek Aqua. Sampai saat ini, bahkan segala jenis merek AMDK justru sering dipukul sama rata dengan nama Aqua.
Kemudian sebuah perusahaan multinasional dari Prancis bernama Danone, tertarik untuk membeli saham PT. Aqua Goldem Mississipi. Alasannya untuk merealisasikan kampanye ‘penaklukan dunia’ nya lewat tiga bisnisnya: daily product, AMDK, dan biskuit. Akhirnya Danone berhasil membeli saham Aqua pada tanggal 4 September 1998 dan muncullah produk penyatuan berlabel Aqua-Danone dua tahun kemudian. Tahun 2001, Danone menaikkan porsi kepemilikannya dari 40% menjadi 74%. Maka resmilah Danone menjadi pemilik dominan dari PT. Aqua Golden Mississipi.
CSR yang digadangkan oleh perusahaan ini sejak dipegang oleh Danone juga tidak sedikit. Salah satunya yang sering diiklankan di beberapa stasiun televisi beberapa waktu belakangan ini, adalah Program Satu untuk Semua (SuS). Program ini maksudnya adalah inisiatif sosial Aqua-Danone yang ditujukan terutama untuk membantu kesejahteraan anak-anak melalui pengadaan air bersih dan penyuluhan hidup sehat. Untuk setiap 1 liter botol Aqua ukuran 600 ml dan 1500 ml berlabel khusus yang terjual pada bulan Juli hingga September 2007, Aqua akan menyediakan 10 liter air bersih kepada komunitas di daerah Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai tahap awal. Semua media promosi, baik elektronik maupun cetak digunakan. Kemasan pun dirubah gambar dan isi labelnya. Untuk lebih meyakinkan, mereka juga menggandeng PWC Indonesia untuk mengaudit jumlah kemasan khusus yang terjual.
Namun ada yang ganjil dari program yang diiklankan berulang kali di stasiun-stasiun televisi tersebut. Mengapa sampai sekarang program SuS itu yang hanya dipublikasikan cuma di daerah NTT, yang notabene rendah tingkat jangkauan komunikasinya? Bagaimana dengan daerah lain seperti Papua atau tak usah jauh-jauh, daerah pelosok-pelosok di pulau jawa yang juga belum mendapat fasilitas air bersih yang layak?
Secara nalar yang sedikit negatif, mungkin saja mereka hanya berjanji-janji saja. Mereka hanya menunjukkan bukti bahwa memang benar disana telah dibangun fasilitas itu dan mampu menyejahterakan penduduk disana. Selebihnya, mereka ‘lupa’ untuk membangun CSR mereka secara berkelanjutan. Kalau diumpamakan, sama seperti sebuah perusahaan besar yang mengumumkan pemberian bantuan dana kepada banyak yayasan di wilayah-wilayah yang membutuhkan, tanpa menyebutkan jumlahnya yang siapa tahu jumlahnya cuma 10 juta rupiah per kecamatan. Apa itu cukup?
Dalam praktik bisnisnya, AGM juga banyak melanggar etika bisnis, bahkan cenderung mendeskritkan signifikansi dari semua program CSR yang mereka gembar-gemborkan. Salah satu contoh adalah eksploitasi air di daerah Kubang jaya, Babakan Pari, Kabupaten Sukabumi sejak tahun 1992. Pada awalnya, eksploitasi hanya pada air di permukaan saja. Namun, perlahan-lahan mereka mulai memilih pengeboran untuk menyedot saluran air di bawah tanah juga. Akibatnya, kualitas dan kuantitas sumber air di sana menurun drastis. Tinggi sumur-sumur rumah menjadi hanya sejengkal kaki (kira-kira 15 cm), bahkan kering kerontang.
Selain keterpaksaan warga untuk menggali sumur lebih dalam lagi atau menggunakan pompa untuk mendapatkan air, irigasi pertanian juga kena getahnya. Beberapa kasus telah terjadi dan biasanya seputar perebutan air untuk kepentingan pengairan ladang mereka. Banyak sawah kekeringan dan daya ekonomi petani semakin menurun. Sedangkan AGM? Semakin makmur di bawah penderitaan orang lain yang tidak tahu menahu tentang hal ini.
Sesudah dimiliki oleh Danone pun, rezim AMDK oleh AGM malah semakin menjadi-jadi dan makin merambah ranah politik. Kasus eksploitasi besar-besaran tahun 2002 di Klaten, Jawa Tengah justru dilakukan dengan terang-terangan. Sama juga dengan penduduk sekitar yang mayoritas juga bergantung pada pertanian, debit air terus menurun dan mereka juga terpaksa menyewa pompa untuk irigasi. Untuk kebutuhan harian pun warga harus membeli dengan harga yang mahal. Hal ini karena pihak PDAM daerah sendiri juga harus membeli air dari AGM sendiri, karena tidak adanya lagi sumber mata air yang tersedia untuk diolah negara. Padahal Kabupaten Klaten memiliki 150 lebih sumber mata air. Pemda Klaten sempat mengancam akan mencabut izin usaha AGM jika terus melakukannya, tapi sampai saat ini tidak ada kelanjutan berita tentang hal itu lagi.
Sudah begitu pun eksploitasi yang dilakukan ditindak lanjuti dengan proses produksi yang tidak efisien dan boros. Hampir 30% air yang menjadi bahan baku AMDK menyusut atau hilang karena proses produksi. Misalnya saja volume air yang dipakai produksi adalah 14 miliar liter, maka yang terbuang kurang lebih 7 miliar liter, itu sudah masuk juga tahapan proses pencucian dan pemurnian air. (Ipung, 2005)
Bayangkan betapa bermanfaatnya air yang terbuang percuma itu jika digunakan untuk kepentingan irigasi. Mengapa AGM tidak memikirkan hal itu? Padahal air untuk irigasi standarnya tak setinggi AMDK, dan itu bisa jadi CSR yang sepadan untuk menghapus semua dosanya. Tapi bahkan sampai sekarang mengapa mereka bungkam dan membutakan diri atas solusi yang sudah jelas bisa dilakukan ini?
Dan seperti biasa, yang selalu diungkap dan dijawab oleh para pejabat perusahaan AGM adalah pernyataan ala politikus yang tidak mendetail dan over-promising but under-delivered. Mungkin inilah yang disebut sebagai politik greenwashing ala Aqua. Kondisi tersebut menjadi semakin memburuk, dan entah kenapa hanya sebagian lapisan masyarakat saja yang mengetahui beberapa kasus buruk yang melibatkan AGM. Bahkan sudah ada beberapa kelompok masyarakat yang merasa dirugikan yang mengkampanyekan gerakan anti-Aqua.
II. Sugar Group Company (SGC)
Sugar… Oh, sugar, sugar…
Apakah kata-kata di atas terdengar familiar? Yap, itulah sepenggal lirik dari jingle iklan produk Gulaku yang mulai menyeruak dunia bisnis sejak beberapa tahun yang lalu itu. Yang menarik perhatian di iklan tersebut adalah butiran-butiran gula yang berjatuhan seperti kristal, bahkan masih tumpah ruah dari kemasannya yang berkesan mewah. Apalagi kalau kita ingat iklan yang lebih baru lagi, bahwa seolah-olah hidup kita tak lengkap tanpa membubuhkan gula di setiap makanan maupun minuman kita.
Sama halnya dengan AGM, Sugar Group juga telah sukses mengangkat harkat dan derajat barang komoditas yaitu gula dari bahan rakyat yang hanya boleh ada di pasar becek maupun toko kelontong pinggir jalan, menjadi komoditas yang keberadaannya dimewahkan oleh penempatannya di berbagai supermarket yang super bersih dan berpendingin mewah. Dengan tagline, promosi, kemasan yang praktis serta butiran gula yang begitu bersih, membuat produk Gulaku menjadi primadona di mata ibu-ibu rumah tangga dan para pengusaha kuliner yang mengandalkan rasa manis sebagai faktor penyedot pelanggannya.
Lalu kita pasti berpikir, dalam menyediakan kualitas gula yang begitu mewah seperti itu, juga dengan kemasan pouch yang menarik dan terkesan mewah tentunya butuh kerja keras dari para karyawan dan pekerja di pabrik utamanya. Lalu bagaimana perusahaan akan mengkompensasi kinerja para pekerjanya?
Dalam hal ini, SGC melakukan CSR internal dengan merekrut pekerja-pekerja lokal di area sekitar pabrik utama mereka di Lampung, agar penduduk sekitar juga dapat merasakan manfaat dari kehadiran mereka di daerah hunian mereka. Selain itu, perlakuan dan fasilitas yang diberikan benar-benar memanjakan mereka semua. Selain gaji yang cukup, masih diberi tunjangan yang memadai, serta tingkat keselamatan kerja di sana benar-benar diawasi ketat. Tidak hanya itu, bahkan dalam kesehariannya perusahaan menyediakan juga transportasi yang mengangkut para karyawannya pulang balik dari dan ke kantor serta rumahnya. Pokoknya apa yang dilakukan perusahaan semata-mata agar mereka semua bisa berkonsentrasi dengan tenang pada pekerjaan mereka saja.
Selain itu, ada juga pendirian Sekolah Menengah Atas Sugar Group Companies (SMA SGC) yang merupakan program balas jasa bagi para pekerja yang telah berjuang keras memajukan perusahaan sejak puluhan tahun yang lalu. Berarti bisa dijelaskan pula mengapa anak-anak didik di sana merupakan anak kandung dari keluarga para pekerja mereka. Hingga tahun 2009 lalu, SMA SGC telah dua kali meluluskan siswanya dan hampir semuanya diterima di perguruan tinggi negeri yang berkualitas, misalnya: ITB, Unpad, UI, dan IPB. (Radar Lampung, 2009)
Para siswa yang bersekolah di sana bukan hanya dari karyawan yang punya jabatan, tapi juga pekerja kasar seperti sopir, tukang las atau bahkan mekanik biasa, serta tukang bersih-bersih yang biasanya kita anggap lalu begitu saja dimanapun kita berada.
Tujuan dari pembangunan SMA tersebut ada dua: membalas jasa para orang tua siswa dan langkah SGC sendiri untuk menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas agar perusahaan tetap sustain. Kalau kita pikir, perusahaan bisa saja ambil tenaga kerja yang lebih andal dari luar lingkungannya. Bisa lulusan dari dalam negeri maupun luar negeri, toh SGC sendiri adalah perusahaan yang terkenal bonafitnya. Tapi kalau melakukan hal tersebut, para pekerja yang setia itu dapat value tambahan apa? Inilah hasil dari proses pemikiran niat CSR yang mulai SGC kepada lingkungan internalnya, terfokus pada karyawan-karyawannya.
Jika mengandalkan gaji seorang pekerja kasar dengan kebutuhan keluarga yang banyak, hampir tidak ada harapan bagi mereka untuk bisa membuat anak-anaknya mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Sehingga perusahaan berpikir bagaimana caranya membalas jasa para karyawan mereka agar mereka dapat hidup layak meski sesudah pensiun. Maka perusahaan melakukan investasi dengan cara mendirikan sekolah sebagai tempat anak-anak karyawan menggayung ilmu. Bebagai kebutuhan, termasuk juga biaya makan tiap siswa, ditanggung perusahaan hingga lulus dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Kemudian dari pihak si anak sendiri, agar tidak lupa atas jasa orang tuanya alias kualat, para calon mahasiswa terlebih dahulu menandatangani kontrak bahwa sepertiga gaji dari mereka kelak akan dimasukkan ke rekening orang tuanya. Ini wajib dilakukan berdasarkan pertimbangan, tanpa ada orang tuanya maka para siswa itu juga tidak akan ada dan kelak akan menjalani hidup yang lebih baik.
Yang mereka lakukan, memang sudah jelas juga untuk investasi masa depan perusahaan dan karyawan. Perusahaan berharap agar para anak-anak karyawan yang telah dididik sedemikian rupa dapa menggantikan orang tuanya dalam beberapa tahun mendatang.
Senin, 20 Desember 2010
CSR : Siapa Penerus William Soerjadjaja? (Bagian 3)
Label:
bisnis,
CSR,
industri,
lingkungan,
management,
opini,
strategic
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar