Senin, 13 Desember 2010

CSR : Siapa Penerus William Soerjadjaja? (Bagian 2)

Sejarah Sang Maestro CSR Indonesia

William Soerjadjaja adalah kelahiran Majalengka pada 20 Desember 1923. Bersama dengan saudara kandungnya, ia membangun perusahaan bernama Astra pada tahun 1957. Jangan cepat ambil kesimpulan dulu, kalau sejak awal Astra adalah perusahaan otomotif. Pada awalnya Astra hanya bergerak di bidang minuman ringan dan ekspor hasil bumi dan tidak tertarik memperluas diversifikasi bisnisnya. Sampai pada tahun 1968, pemerintah orde baru pada kala itu meminta bantuannya untuk mendatangkan 800 unit truk chevrolet dari Amerika. Ketika sudah mulai dipergunakan aktif untuk program repelita yang mulai dilaksanakan besar-besaran kala itu, William mulai melirik sebuah kesempatan bisnis dalam bidang otomotif dan berusaha untuk mendapatkan hak ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) chevrolet Amerika. Namun, permintaannya ditolak mentah-mentah. Kemungkinan besar alasannya adalah, pihak chevrolet Amerika sendiri menilai bahwa sangat susah untuk merintis bisnis otomotif secara komersil kepada khalayak ramai di Indonesia yang daya belinya masih terbatas. Karenanya, mereka berasumsi bahwa itu adalah permintaan yang nekat dan bisa dikatakan William tak berpikir matang.

Tapi beliau tak mau menyerah begitu saja. Ia benar-benar melihat peluang masa depan yang benar-benar cerah dihadapannya. Karenanya ia beralih kiblat untuk mengambil hati Toyota yang bermarkas besar di Jepang. Dengan bermodalkan sejarah kesuksesan mendatangkan 800 unit chevrolet sekaligus, dan juga dibantu oleh mindset pebisnis Jepang yang disiplin dan stubborn dalam mengurus kesempatan bisnis apapun, beliau akhirnya berhasil menjadi ATPM Toyota di Indonesia. Dan pada tahun 1971, Astra berubah nama menjadi PT. Toyota Astra Motor (TAM) sebagai importir dan distributor kendaraan Toyota di Indonesia.

Bersama-sama dengan perusahaan saingannya yang pada waktu itu sudah membersihkan jalan pionir industri otomotif di Indonesia, PT. Indomobil Sukses Internasional, PT. Toyota Astra Motor mulai tumbuh menjadi raksasa otomotif di negeri ini. Salah satu produk khasnya yang menjadi trade mark perusahaan pada saat itu adalah jenis kijang yang proses produksi dan penelitian serta pengembangannya memang khusus ditujukan hanya pada karakter penduduk Indonesia yang senang kemana-mana bersama dengan sekeluarga. Maka dari itu, kita semua pasti masih ingat positioning mobil kijang sebagai mobil keluarga. Selain itu, Toyota Kijang yang dipromosikan oleh William memang sudah berkonsep mobil murah dengan harga terjangkau sesuai selera konsumen Indonesia kebanyakan.

Pertumbuhan yang sangat pesat ini tak pelak membuat keluarga cendana alias Pak Harto dan sanak familinya, tergiur ingin memiliki bagian hak kepemilikan saham Astra yang sudah berganti nama menjadi Astra Internasional ini. Tapi tentu saja, William menolak keinginan mantan presiden orde baru itu dan membuat mereka sekeluarga merasa geram. Kesuksesan perusahaan Astra juga tak bisa lepas dari campur tangan pemerintah otoriter pada saat itu yang kadang-kadang masih sensi dengan penolakan tersebut, sehingga justru kalau bisa bertahan sampai sejauh ini, berarti itu memang menunjukkan kualitas William Soejadjaja yang memang sangat berdedikasi dan visioner.

Namun, ia bukan tipe orang yang menyamakan keberhasilan Astra sebagai keberhasilan pribadinya. Beliau pernah berujar bahwa keberhasilan Astra adalah berkat kerja keras semua karyawan dan rahmat Tuhan, bukan semata-mata karena dirinya pribadi.
Beliau memiliki empat anak dari pernikahan beliau dengan ibu Lily Anwar. Edward dan Edwin yang lahir di Belanda serta Joyce dan Judith yang lahir di Indonesia. Kisah spektakuler kepahlawanan beliau dimulai dari salah satu kegagalan yang dialami anak pertamanya, Edwin Soerjadjaja. Semasa Astra masih menjadi milik keluarga Soerjadjaja, Edward adalah juga salah satu pemegang saham dan komisaris di PT Astra Internasional. Ia dipercaya juga untuk mengelola Summa Group, yang merupakan anak usaha dari Grup Astra.

Pada masa kejayaannya, Summa Group bergerak di bidang perbankan, keuangan, dan berbagai jenis jasa keuangan lainnya. Agaknya sang putra sulung ini terlalu ambisius sehingga banyak sekali mengumbar kredit dan ekspansi bisnis yang tak terkontrol. Bisa ditebak selanjutnya, Summa pun menanggung kredit macet dalam jumlah besar. Inilah titik awal petaka bagi keluarga Soejadjaja. Karena mendapatkan kerugian yang teramat besar, maka Bank Summa pun bangkrut dan dana-dana para nasabah pun juga dipastikan 100% tak bisa kembali ke tangan pemilik aslinya. Membuat kita teringat akan pahitnya kasus Bank Century yang kinerja manajemen dan kecurangan pemiliknya amat mengecewakan para nasabah hingga waktu yang berkepanjangan.

Langkah apakah yang akan William Soerjadjaja ambil? Sejak Bank Summa dinyatakan untuk dilikuidasi pemerintah pada Desember 1992, beliau maju dan menyatakan dirinya sendiri sebagai jaminan pribadi untuk menyelesaikan seluruh kewajiban terakhir bank itu. Tak tanggung-tanggung, ia melepas seluruh kepemilikan mayoritas pribadinya di Astra pada pemerintah dan harus merelakan satu-satunya usaha terbesar dan terlama miliknya. Tak terbayangkan, betapa sedih juga hatinya ketika secara sadar harus melepas salah satu nama yang telah ia besarkan sejak dulu dengan semua pahit dan getir dunia yang telah ia jalani bersama Astra.

Padahal secara common sense dan secara hukum perdata pada saat itu, tidak ada kewajiban mutlak bagi William untuk menanggung semua beban pengembalian uang nasabah itu seorang diri. Karena meskipun sebagai salah satu anak usaha Astra, pemilik Bank Summa adalah anaknya dan justru bukan dirinya. Tak ada korelasi kewajiban hukum secara langsung yang membuatnya harus ikut bertanggung jawab. Bahasa gampangnya, “Kalau sudah bangkrut, ya mau bagaimana lagi? Uang sepeser pun mereka tak punya”.
Namun beliau tidak pernah mencari pembelaan semacam itu. Ia menjadikan hasil penjualan saham Astra yang notabene adalah kekayaan pribadinya sebagai sumber dana pengembalian untuk seluruh nasabah, satu persatu sampai semuanya benar-benar tergantikan. Mana ada orang yang rela menggunakan kekayaan pribadinya di satu perusahaan untuk bertanggung jawab atas kebangkrutan usaha yang tak ada hubungannya dengan bidang bisnis utama yang dijalani, apalagi untuk mengembalikan kekayaan para pelanggan yang dikecewakan? Bukankah perbuatan seperti itu adalah sesuatu yang sejatinya gampang diumbar-umbar namun sangat sulit untuk dilakukan, bahkan untuk direncanakan?

Meskipun telah terdepak keluar dari perusahaan kesayangannya, hubungan bisnis dengan para koleganya di luar negeri tetap baik. Bahkan mereka menaruh rasa respek yang besar terhadap sikap gentleman William yang bersedia mengambil alih tanggung jawab Bank Summa. Tak heran banyak pihak justru antusias menawarkan sejumlah uang agar William bisa memperoleh kepemilikan kembali di Astra. Salah satunya adalah Peregrine Sewu Securities yang tahun 1995 bersedia menyediakan dana bagi keluarga Soerjadjaja untuk mengambil alih Astra kembali. Tapi sayangnya keluarga cendana tidak berkenan untuk mengizinkan proposal tersebut.

Memang sepanjang hidupnya, oleh banyak rekan pengusaha maupun karyawan atau presdir yang dulu pernah menjadi bawahannya, beliau dikenal sebagai pemimpin yang sangat kuat dan baik, tidak otoriter, sangat kekeluargaan, dan humanis. Beliau juga sering sekali memberi kesempatan bagi bawahannya untuk berkembang sehingga mampu mencetak para profesional dan pengusaha handal. Bahkan banyak sekali konglomerat baru yang muncul dari hasil asuhannya.

Kini beliau telah berpulang, meninggalkan kita semua. Namun, seperti pepatah mati satu tumbuh seribu, semoga saja segera muncul sosok seperti William Soerjadjaja lainnya di tanah air ini yang mampu mengimplementasikan CSR yang menyeimbangkan kehidupan berbisnis dengan prinsip dasar sosial dan religius, sehingga bisa menjadi teladan dan kebanggaan bangsa ini.

Tidak ada komentar: