Kamis, 17 Februari 2011

Bank Mandiri : Tantangan Internasional dan Peran Strategis bagi Indonesia untuk Melengkapi Kekuatan BRIC (Bagian Kedua)

Overview Situasi dan Kondisi

Di bawah kepemimpinan Zulkifli Zaini, Direktur Utama Bank Mandiri saat ini, Bank Mandiri mendeklarasikan kesiapannya sebagai salah satu ujung tombak bagi Indonesia untuk bisa memajukan kerja sama internasional. Salah satunya dengan bergabung dalam China-ASEAN Interbank Association (CAIBA) sebagai langkah strategis untuk meningkatkan peran Bank Mandiri di kawasan ASEAN. Dengan membuka peluang bisnis dari kawasan ASEAN dan Cina ke Indonesia, diharapkan akan sejalan dengan langkah strategis Mandiri yang ingin menjadi top five di tahun 2014 dan top three bank ASEAN di tahun 2020 dan mempunyai cabang di dunia internasional lebih banyak lagi.

Salah satu tembok terbesar yang harus dihadapi Bank Mandiri adalah penetrasi pasarnya ke negeri tirai bambu, Republik Rakyat Cina, yang menjadi salah satu kekuatan ekonomi raksasa yang tergabung dalam The Big Four yang siap untuk mengungguli kedigdayaan Amerika Serikat. Apalagi letak geografis dan pertumbuhan perekonomian Indonesia menjadi kawasan strategis yang mempunyai pengaruh secara politik kedua negara ini, Amerika Serikat dan Cina. Namun akhir-akhir ini, kerjasama bilateral strategis antara ASEAN dengan Cina menjadi prioritas utama bagi Indonesia, dan paling tidak ini juga bisa menjadi salah satu kesempatan bagi Bank Mandiri untuk memantapkan positioningnya sebagai wakil perwujudan Indonesia di dunia perbankan internasional. Dan sekali lagi, dengan menjejakkan kaki bisnisnya ke Cina, itu akan menjadi sebuah langkah yang sangat signifikan.

CAIBA merupakan inisiatif bersama antara China Development Bank (CBD) dengan bank utama di wilayah ASEAN untuk meningkatkan kerjasama perbankan Cina dan negara-negara ASEAN dalam membayai pembangunan infrastruktur di negara-negara ASEAN. Tentu saja yang diharapkan oleh Bank Mandiri adalah perkembangan kerjasama yang baik antara perbankan Indonesia dan Cina dalam menyalurkan pembiayaan yang produktif.
Sebenarnya sejak tahun 2003, dimana waktu itu E.C.W. Neloe masih menjabat sebagai Presiden dan CEO Bank Mandiri, telah dilakukan pembukaan kantor perwakilan luar negeri yang berada di Shanghai, Cina. Kantor tersebut diplot untuk bisa memfasilitasi pertukaran informasi dalam bidang perdagangan dan kesempatan berinvestasi antara dua negara ini. Dan aktivitas itu akan melibatkan dari tingkat individu-individu sampai dengan tingkat korporasi.

Sebenarnya Bank Mandiri telah memiliki kantor cabang di Cina sejak 2007, namun operasionalnya masih terbatas dan tidak bisa memiliki hak untuk meningkatkan pembiayaan pihak ketiga di Cina. Kondisi itu juga tidak bisa dikatakan sebagai kondisi yang sempurna bagi Bank Mandiri untuk menjadi jembatan kedua negara menjalin kerjasama secara langsung. Jika saja operasi kantor cabang itu dibuka sepenuhnya dan tidak dibatasi oleh hukum bisnis yang ketat di sana, maka akan tercipta sebuah kondisi penuh keuntungan dimana Bank Mandiri akan memiliki akses cepat dan langsung ke pasar bisnis Cina.

Keinginan Bank Mandiri yang tampaknya sangat sulit diwujudkan tersebut mulai mendapat angin segar ketika Wakil Presiden Boediono berinisiatif meminta Cina izinkan Bank Mandiri membuka cabangnya secara full-fledged. Pada kunjungan kenegaraannya ke Beijing 17-21 Oktober yang lalu, Boediono sekaligus mengingatkan Perdana Menteri Cina, Wen Jiabau, untuk mempertimbangkan kembali pembukaan kantor cabang operasional Mandiri sebagai ganti telah memberikan kelonggaran bagi pembukaan cabang Bank of China di Jakarta.

Akhirnya pada 3 November 2010, China Banking Regulatory Commision (CBRC) mengizinkan Bank Mandiri untuk membuka kantor cabang operasional yang bersifat total operasionalnya di Shanghai. Pada tahun-tahun sebelumnya, Bank Mandiri sangat sulit untuk membuka kantor cabang operasional di Cina karena izin yang ketat. Untuk itu Bank Mandiri harus menyiapkan dokumen-dokumen berisi prosedur pendirian kantor cabang operasional sesuai peraturan yang berlaku di Shanghai dan menyampaikan aplikasi business permit operasional perbankan kepada CBRC. Kantor cabang ini direncanakan akan beroperasi pada semester pertama tahun 2011 untuk melayani aktivitas perbankan, seperti penghimpunan dana korporasi, penyaluran kredit korporasi, transaksi perdagangan ekspor impor dan remittance. Dan kesuksesan pendirian cabang di Shanghai inilah yang melengkapi jaringan cabang internasional Bank Mandiri di tujuh negara di tiga benua.

Pasca mengantongi izin dari otoritas perbankan Cina tersebut untuk mengizinkan operasi kantor cabangnya secara penuh, Mandiri segera memperkuat ekspansi bisnisnya dengan menggandeng Industrial and Commercial Bank of China Limited (ICBC), yang merupakan bank terbesar di Cina dan peringkat ketigabelas dunia. Bentuk kerjasama tersebut berupa dukungan ICBC terhadap kantor cabang Mandiri di Shanghai dalam bentuk Renminbi Settlement dan Treasury. Dan sekali lagi, tujuan kerjasama Bank Mandiri kali ini adalah untuk memastikan bahwa hubungan bisnis antara Indonesia dan Cina dapat meningkat dan tumbuh lebih baik lagi.

Lebih jauh lagi, terkhusus untuk kantor cabang di luar negeri, Bank Mandiri berencana menambah kantor cabang internasional di Malaysia dari enam outlet yang masih terbatas pada jasa pengiriman uang, menjadi lima belas di tahun 2011. Rencana ini padahal bisa terlaksana pada akhir tahun 2010. Namun lagi-lagi karena terkendala aturan dari Bank Sentral Malaysia, penambahan kantor outlet ini pun harus ditunda. Dan sampai sekarang belum diketahui apa alasan Bank Sentral Malaysia menundanya.
Padahal di negeri jiran ini, potensi pasar yang didominasi oleh TKI ini masih besar dan tidak hanya terpusat di Kuala Lumpur. Mandiri bermaksud untuk lebih merambah daerah sekitar yang masih belum tergarap dengan merencanakan membuka cabang penuh di sana, tapi salah satu persyaratan sulit untuk mendapat izin membentuk kantor cabang penuh adalah bermodalkan 300 juta ringgit.

Analisa Situasi dan Kondisi

Pertama-tama yang patut diperhatikan adalah tentang adanya situasi tawar-menawar antara Boediono dengan PM Cina, yang ada hubungannya dengan asas legal dan kerjasama bilateral. Pertimbangan lainnya yang ada selain “politik balas jasa” di sini yaitu jika ingin mempererat hubungan antar negara maka hendaknya bisa menciptakan sebuah sistem yang mempercepat perdagangan bilateral-swap. Jadi aktivitas bisnis internasional antara Indonesia dengan Cina bisa langsung dengan menggunakan mata uang yuan dan rupiah tanpa harus melalui penukaran mata uang dolar amerika. Dengan demikian kerjasama bilateral yang lebih intim akan terjamin dan kemungkinan bagi Indonesia untuk segera menancapkan salah satu kekuatannya ke lingkaran BRIC akan semakin besar. Walaupun untuk itu, kelonggaran peraturan bisnis yang ada harus dilandasi dan dipengaruhi oleh adanya pertukaran kepentingan antar pemerintah dan politik luar negeri.

Kedua, yang menjadi keprihatinan bersama dalam negeri yang sangat menghambat ekspansi banyak perusahaan Indonesia untuk melakukan ekspansi ke luar negeri, adalah perbedaan ketat tidaknya peraturan yang kita miliki jika dibandingkan dengan peraturan di luar negeri. Memang banyak jenis industri yang mengalami hal serupa, namun makalah ini akan lebih memfokuskan pada masalah di industri perbankan.
Indonesia adalah salah satu dari tiga negara, selain Korea Selatan dan Argentina, yang memiliki keterbukaan berlebih dalam sistem perbankannya Banyak sekali bank asing yang dengan derasnya masuk ke Indonesia, dan terlihat sangat mudah untuk berekspansi ke negeri ini, baik itu melalui pembukaan cabang secara normal atau melalui persentase kepemilikan di beberapa perusahaan strategis. Di negeri ini bank asing bisa memiliki 99 persen saham untuk dimiliki.

Namun, keterbukaan yang diterapkan di Indonesia ini tidak berlaku sebaliknya di luar negeri. Dan hal ini sangat menyulitkan bank-bank nasional, yang ironisnya juga harus bertahan mati-matian untuk mengembangkan daya saingnya dari gempuran luar negeri, untuk melakukan ekspansi yang sangat sering dikeluhkan dan menjadi tantangan terberat mereka. Dari kasus Bank Mandiri di atas kita bisa melihat adanya kesulitan yang dialami mereka untuk melakukan ekspansi secara penuh di Cina dan Malaysia, dimana mereka selalu terbelit-belit dengan masalah peraturan maupun Memorandum of Understanding (MoU).

Banyak izin berlapis-lapis harus dipenuhi pihak Bank Mandiri untuk membuka cabang di Cina, dan itu juga masih belum langsung bisa melaksanakan transaksi Reminbi. Sedangkan di Indonesia tidak ada izin berlapis setebal dan sekokoh itu. Mereka bisa mengumpulkan dana dari masyarakat, melayani transaksi valas, menyalurkan kredit, dan sebagainya. Yang amat disayangkan adalah sebanyak 49 persen saham sepuluh bank besar di Indonesia dikuasai asing, kecuali Bank Mandiri dan BCA.

Bank sentral kita juga memberikan kemudahan bagi investor asing untuk membeli bank-bank lokal tanpa harus menyuntik modal hingga tiga triliun rupiah. Bank-bank yang dimiliki asing tersebut juga mendapatkan perlakuan yang sama dalam berekspansi. Kondisi ini menguatkan predikat Indonesia sebagai tamu asing di negerinya sendiri, sebuah ironi di atas berbagai usaha yang dilakukan untuk memperkuat daya saing internasional perusahaan-perusahaan Indonesia di dunia internasional.

Tidak ada komentar: