Jumat, 04 Februari 2011

Bank Mandiri : Tantangan Internasional dan Peran Strategis bagi Indonesia untuk Melengkapi Kekuatan BRIC (Bagian Pertama)

Profil dan Perjalanan Bisnis Bank Mandiri

Bank Mandiri adalah salah satu bank swasta paling terkemuka di Indonesia yang memberikan pelayanan perbankan untuk segmen bisnis korporasi, komersial, mikro-retail, consumer finance, serta perbendaharaan dan perbankan internasional. Bank Mandiri memiliki anak-anak perusahaan yang menopang lini bisnis utamanya, semacam Mandiri Sekuritas (jasa pasar modal), Bank Syariah Mandiri (perbankan syariah), AXA-Mandiri Financial Services (asuransi jiwa), Bank Sinar Harapan Bali, dan Mandiri Tunas Finance (jasa keuangan).

Bank Mandiri memiliki sebuah visi besar, yaitu menjadi satu-satunya bank yang paling dikagumi, paling progresif, dan paling terpercaya. Visi itu didukung oleh beberapa misi, yaitu menjadi bank yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pasar, meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia, memberikan hasil dan keuntungan yang maksimal bagi para stakeholder, melaksanakan manajemen terbuka, dan kepedulian terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar.

Bank Mandiri pada awalnya merupakan merger dari empat bank pemerintah yang diselesaikan pada Juli tahun 1999, yaitu Bank Dagang Negara, Bank Bumi Daya, Bank Exim, dan Bank Pembangunan Indonesia. Robby Djohan saat itulah yang menjadi nahkoda kepemimpinan di Bank Mandiri. Ia berkeinginan untuk menjadikan bank ini sekelas, bahkan melebihi, Citibank yang pada waktu itu tercatat sebagai salah satu bank terbaik di dunia internasional. Yang dimaksud adalah, operasional Mandiri harus disesuaikan dengan standar bank-bank terbaik di tingkat dunia, baik dalam kualitas pelayanan, produk-produk yang ditawarkan maupun sistemnya. Dan sejak awal, mantan bankir Citibank ini telah memilih positioning Mandiri sebagai retail banking, seperti Citibank dan BCA, yang waktu itu sudah memiliki posisi kuat dalam pasar retail dan consumer banking di Indonesia.

Namun, banyak juga tantangan yang harus dihadapi oleh Bank Mandiri, salah satunya adalah kondisi makro ekonomi yang saat itu sedang kacau balau akibat badai krisi dan kredit macet negara yang menumpuk. Selain itu, mengubah karakter asli dari yang semula adalah corporate banking menjadi retail banking juga tidak bisa semudah membalikkan telapak tangan. Hal itu dikarenakan kultur perusahaan yang sebelum terjadi merger telah terbiasa menangani perusahaan-perusahaan yang berskala besar.
Cita-cita untuk menjadikan Mandiri bisa bersaing di level internasional dan global tersebut tidak berhenti begitu saja ketika Robby turun dari posisi tertingginya. Agus Martowardojo, bawahan sekaligus anak didik Robby yang pernah menempati Executive Vice President Manajemen Risiko Kredit dan Restrukturisasi saat Robby masih menjadi atasan, menjadi ahli warisnya yang mampu membawa perubahan signifikan pada Bank Mandiri.

Salah satunya adalah pencapaian pada semester pertama tahun 2009, tentang dana tabungan yang mencapai 97,1 triliun rupiah yang sudah tak jauh beda dengan pencapaian BCA yang mencapai 101 triliun rupiah pada Juni 2009. Sedangkan di bisnis kartu kredit, Bank Mandiri telah mencetak 1,6 juta sampai dengan kuartal ketiga 2009. Dan bisa dibandingkan dengan Citibank yang sudah bertahun-tahun menjadi raja kartu kredit di Indonesia, jumlah kartu yang diterbitkan baru 1,3 juta unit. Untuk memperkuat posisinya sebagai retail banking, Mandiri juga fokus melayani kredit UM-KM. Sampai September 2009, jumlah nasabah UM-KM mencapai 437.872 nasabah, dua kalinya tahun lalu. Sementara total penyaluran kredit bertumbuh 18,6% menjadi 25,51 triliun rupiah sampai September 2009.

Total aset bank Mandiri per September 2009 sebesar 365,5 triliun rupiah, naik 50 triliun rupiah dibandingkan tahun lalu. Yang patut diacungi jempol adalah tingkat rasio kredit bermasalahnya (NPL) menurun drastis berkat keberhasilan restrukturisasi kredit macetnya. Di akhir 2005, NPL bruto Mandiri mencapai 25,2% dan pada kuartal ketiga tahun 2009 hanya 3,8%. Angka itu sudah dibawah ketentuan maksimal Bank Indonesia yaitu sebesar 5%.

Selain dari data statistik finansial itu, perubahan juga terjadi pada struktur perusahaan yang diubah menjadi Strategic Business Unit (SBU) yang artinya setiap direktorat perusahaan harus berfokus pada value perusahaan. Lalu juga pada bagian roles and responsibility, ruang lingkup dan tanggung jawabnya menjadi berbeda. Kemudian ada juga perubahan sistem manajemen performanya, yang ditandai dengan pembaharuan Key Performance Indicator (KPI), cara evaluasi, targetnya, serta sistem reward yang menentukan tepat tidaknya seseorang menempati posisi tertentu.
Perubahan yang dibawa oleh Agus Martowardojo adalah perubahan yang bersifat substansial dan paling mendasar. Selain itu juga secara holistis dan menyeluruh, baik itu pada mindset maupun perilaku yang terjadi. Perubahan itu berkaitan dengan kultur perusahaan yang dikelola dan direformasi dengan baik oleh direktorat khusus bernama Change Management. Ia membuat anggota direksi menjadi cukup besar dan semuanya bekerja dengan sangat efektif. Selain itu, ia juga mengambil banyak karyawan profesional dari bank asing maupun beberapa konsultan yang ada. Dengan demikian, itu bisa membuat tata nilai di Bank Mandiri berubah banyak dan menjadi penuh dengan integritas. Ditambah dengan aspek Good Corporate Governance yang meliputi transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, keadilan, dan independensi, yang sudah diakui sejajar dengan penerapan GCG di perusahaan-perusahaan dalam Grup Astra.

Perubahan itu bermula pada tahun 2005, ketika dilakukan pengajian untuk menentukan arah bank ini dalam lima tahun ke depan. Hasilnya, diputuskan bahwa di tahun 2010 nantinya Mandiri sudah harus menjadi bank yang sudah menguasai pasar berlevel Asia Tenggara. Artinya, Mandiri juga harus bisa bersaing dengan bank di kawasan ASEAN seperti Maybank dari Malaysia, DBS dari Singapura, atau Bangkok Bank. Salah satu indikatornya adalah kapitalisasi pasar yang harus mencapai US$ 10 Miliar.
Perkembangan terakhir sejak bulan Desember 2010 kemarin, Bank Mandiri sudah memperkerjakan lebih dari 240 ribu karyawan di 1.296 cabang dan tujuh kantor perwakilan di luar negeri (Singapura, Hong Kong, Cayman Island, Timor Leste, Inggris, Malaysia, dan terakhir di Cina). Saluran-saluran distribusi pelayanan yang digunakan Bank Mandiri adalah 5.495 ATM milik sendiri, 14.822 ATM bekerja sama dengan jaringan bisnis LINK, 42.728 unit Electronic Data Capture (EDC), dan juga saluran-saluran elektronik seperti Internet Banking, SMS Banking, dan Call Center 14000.

Rencananya, Mandiri akan menambah jumlah cabang dengan total mencapai 520 unit. Ini terdiri dari 250 kantor cabang, 70 unit mikro dan 200 kios mikro. Sedangkan target kredit mikro tahun 2011 mencapai 11,4 triliun rupiah.

BRIC dan Indonesia

BRIC merupakan singkatan dari empat negara berkembang yang paling berpengaruh besar dalam skala perekonomian global, yaitu Brazil, Rusia, India, dan Cina. BRIC adalah istilah yang diperkenalkan Jim O’Neill sebagai bentuk antisipasi akan kemunculan negara-negara yang punya ukuuran perekonomian yang bisa menandingi ukuran perekonomian negara maju dunia, semacam Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman.
Pada tahun 2001, Goldman Sachs, sebuah bank investasi internasional, menganggap bahwa Cina sangat memungkinkan untuk menjadi penguasa ekonomi global terbesar sebelum tahun 2030. Secara kolektif, kondisi ekonomi BRIC juga bisa saja mengungguli hasil output dari negara-negara kaya di Group of Seven—yang telah mendominasi manajemen ekonomi global—pada tahun 2032.

BRIC telah memiliki market share yang lebih besar daripada Amerika Serikat sendiri. Alasannya adalah Cina, yang menyumbangkan peran sebagai salah satu eksportir global terbesar tahun lalu, kemudian digabungkan dengan ekspor perangkat lunak dari India, kemudian ekspor minyak dan gas bumi dari Rusia, dan juga dominasi pasar agrikultur dari para petani yang super kompeten dari Brazil. Inilah yang sering membuat para investor global beranggapan bahwa BRIC tak ubah layaknya “The Promised Land” bagi mereka semua.

Indonesia sendiri sudah diperhitungkan oleh Goldman Sachs sebagai salah satu kelompok negara N-11, yaitu kelompok negara yang diperkirakan juga akan memiliki ukuran perekonomian yang akan bisa menandingi negara-negara terbesar dalam perekonomian versi tahun 2001, alias BRIC. Termasuk di dalamnya ada Korea Selatan dan Mexico yang juga memiliki performa perekonomian yang bagus dan juga berhasil menarik perhatian dunia. Namun N-11 sendiri bukan merupakan ukuran panduan investasi yang pasti dan menarik bagi para investor global, mengingat ada beberapa negara yang masih berjuang secara mencolok seperti Bangladesh juga masuk di dalam N-11. Dan itu juga masih bukan merupakan kebanggaan tersendiri untuk negara-negara yang ada di dalamnya. Tidak bisa ditawar-tawar lagi, untuk dapat menjadi pemain bisnis internasional yang tulen dan patut diperhitungkan secara pasti, usaha-usaha agar menjadi pantas mendampingi BRIC adalah harga mati.

Upaya mengaitkan Indonesia dengan BRIC sudah terjadi sejak pertengahan 2009 lalu, dimana pada saat itu Indonesia bukan hanya dapat meminimalisir dampak krisis keuangan global tapi juga mencatat pertumbuhan yang cukup tinggi. Bulan Juli 2010 pun, Morgan Stanley yang merupakan pesaing dari Goldman Sachs tanpa ragu mengusulkan Indonesia untuk dimasukkan ke dalam tambahan BRIC pada tahun 2011, jika berhasil mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 7% per tahun. Namun, kali ini tantangan besar kembali diberikan oleh Goldman Sachs, bahwa Indonesia akan memenuhi syarat jika GDP-nya berhasil mencapai 3% dari GDP dunia. Tak pelak lagi, ini bagaikan sebuah bendera start yang sangat menjanjikan bagi Indonesia. Pelan tapi pasti, investor asing mulai menyerbu negeri kita ini, bahkan tidak peduli meski ada kegaduhan politik di penghujung tahun 2009 lalu.

Dalam suatu event bertajuk Bank Mandiri Economic Forum, Profesor Xavier Sala-i Martin yang adalah Ketua Penasehat Global Competitiveness Network dari Forum Ekonomi Global, sempat melontarkan pernyataan bahwa Indonesia mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan keempat negara BRIC tersebut. Dalam hal indeks daya saing global, Indonesia (ranking 44) memiliki posisi yang lebih bagus daripada Brazil (ranking 58), Rusia (ranking 63), dan India (ranking 51). Ia juga mengatakan bahwa Indonesia memiliki cadangan devisa dan kapital yang lebih banyak untuk mempertahankan pertumbuhan ekonominya, walaupun masih ketinggalan jauh dengan Cina. Dalam hal infrastruktur, Indonesia menempati urutan keempat diatas india, jika dilakukan perbandingan dengan keempat negara tersebut.

Sementara itu terdapat beberapa fakta mengenai relasi bisnis internasional yang semakin bertambah erat antara Cina dengan Indonesia. Cina telah sejak lama menjadi investor terbesar di Indonesia sejak 1998; setelah Inggris dan Singapura. Cina adalah partner perdagangan Indonesia yang terbesar keempat, setelah Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura. Antara tahun 1999 dan 2003, total ekspor dari Indonesia ke Cina rata-rata tumbuh 16,8% per tahun. Di dalam sepuluh bulan pertama tahun 2003, total perdagangan antara dua negara ini mencapai US$ 5,49 miliar. Ekspor Indonesia sendiri mencapai US$ 3,04 miliar, sedangkan impor mencapai US$ 2,45 miliar.

Tidak ada komentar: