Kesimpulan
Di antara negara-negara BRIC yang ada, tampaknya pilihan Indonesia untuk berfokus pada kerja sama dengan Cina adalah pilihan yang tepat. Selain dapat menjadi benchmarking yang tepat, mengingat beberapa kesamaan modal kekuatan untuk bersaing di pasar global, kerjasama ASEAN dengan Cina sudah menjadi langkah awal yang sangat bagus, dimana Indonesia menjadi leader dari ASEAN itu sendiri. Bank Mandiri yang melihat peluang itu, bahkan mengadakan beberapa forum bersama serta mengajukan positioning dirinya agar menjadi ujung tombak Indonesia adalah keputusan yang berani dan patut diacungi jempol.
Namun, dalam usaha menjadikan Indonesia sebagai negara pelengkap BRIC tersebut, terdapat beberapa persyaratan atau masalah yang harus dibenahi terlebih dahulu. Masalah-masalah kali ini lebih terkait pada bidang legalitas/hukum perbankan di negara ini yang peraturannya terlalu longgar jika dibandingkan dengan Cina, bahkan Malaysia yang menjadi tetangga terdekat kita. Hal ini sangat penting untuk membangun wibawa dalam mengikat kerjasama lebih lanjut dengan negara-negara internasional lainnya, tidak hanya dengan Cina. Selain itu, juga agar bank lokal lainnya bisa sedikit bernafas lega dan mampu untuk berkonsentrasi membangun keunggulan kompetetifnya masing-masing berlandaskan ideologi yang sama, yaitu untuk melebarkan sayap ekspansinya ke luar negeri.
Bank Mandiri tidak bisa begitu saja dibiarkan berusaha sendiri dan menjadi single-fighter dalam kampanye menuju BRIC ini. Pemerintah, dalam hal ini Gubernur Bank Indonesia, harus lebih mempunyai komitmen, rencana, dan tindakan yang jelas untuk mulai memperketat peraturan perbankan di negara kita. Dominasi ekspansi asing dalam hal kepemilikan saham mayoritas harus dibatasi dan diawasi dengan ketat. Sebab jika tidak diawasi dan dibatasi kepemilikannya, maka bisa terjadi praktik-praktik kepemilikan mayoritas yang tidak berlandaskan asas saling mengawasi. Mungkin pembatasan seperti yang dilakukan di Cina dan Malaysia bisa ditiru, mengingat kedekatan dan beberapa kesamaan yang dimiliki. Sudah saatnya Indonesia juga bisa berdiri sejajar dalam posisi tawar-menawar ekspansi dengan negara lain, seperti yang sudah ditunjukkan oleh Wapres Boediono yang berhasil membantu Bank Mandiri beroperasi secara penuh di Shanghai, Cina.
Kamis, 17 Februari 2011
Bank Mandiri : Tantangan Internasional dan Peran Strategis bagi Indonesia untuk Melengkapi Kekuatan BRIC (Bagian Kedua)
Overview Situasi dan Kondisi
Di bawah kepemimpinan Zulkifli Zaini, Direktur Utama Bank Mandiri saat ini, Bank Mandiri mendeklarasikan kesiapannya sebagai salah satu ujung tombak bagi Indonesia untuk bisa memajukan kerja sama internasional. Salah satunya dengan bergabung dalam China-ASEAN Interbank Association (CAIBA) sebagai langkah strategis untuk meningkatkan peran Bank Mandiri di kawasan ASEAN. Dengan membuka peluang bisnis dari kawasan ASEAN dan Cina ke Indonesia, diharapkan akan sejalan dengan langkah strategis Mandiri yang ingin menjadi top five di tahun 2014 dan top three bank ASEAN di tahun 2020 dan mempunyai cabang di dunia internasional lebih banyak lagi.
Salah satu tembok terbesar yang harus dihadapi Bank Mandiri adalah penetrasi pasarnya ke negeri tirai bambu, Republik Rakyat Cina, yang menjadi salah satu kekuatan ekonomi raksasa yang tergabung dalam The Big Four yang siap untuk mengungguli kedigdayaan Amerika Serikat. Apalagi letak geografis dan pertumbuhan perekonomian Indonesia menjadi kawasan strategis yang mempunyai pengaruh secara politik kedua negara ini, Amerika Serikat dan Cina. Namun akhir-akhir ini, kerjasama bilateral strategis antara ASEAN dengan Cina menjadi prioritas utama bagi Indonesia, dan paling tidak ini juga bisa menjadi salah satu kesempatan bagi Bank Mandiri untuk memantapkan positioningnya sebagai wakil perwujudan Indonesia di dunia perbankan internasional. Dan sekali lagi, dengan menjejakkan kaki bisnisnya ke Cina, itu akan menjadi sebuah langkah yang sangat signifikan.
CAIBA merupakan inisiatif bersama antara China Development Bank (CBD) dengan bank utama di wilayah ASEAN untuk meningkatkan kerjasama perbankan Cina dan negara-negara ASEAN dalam membayai pembangunan infrastruktur di negara-negara ASEAN. Tentu saja yang diharapkan oleh Bank Mandiri adalah perkembangan kerjasama yang baik antara perbankan Indonesia dan Cina dalam menyalurkan pembiayaan yang produktif.
Sebenarnya sejak tahun 2003, dimana waktu itu E.C.W. Neloe masih menjabat sebagai Presiden dan CEO Bank Mandiri, telah dilakukan pembukaan kantor perwakilan luar negeri yang berada di Shanghai, Cina. Kantor tersebut diplot untuk bisa memfasilitasi pertukaran informasi dalam bidang perdagangan dan kesempatan berinvestasi antara dua negara ini. Dan aktivitas itu akan melibatkan dari tingkat individu-individu sampai dengan tingkat korporasi.
Sebenarnya Bank Mandiri telah memiliki kantor cabang di Cina sejak 2007, namun operasionalnya masih terbatas dan tidak bisa memiliki hak untuk meningkatkan pembiayaan pihak ketiga di Cina. Kondisi itu juga tidak bisa dikatakan sebagai kondisi yang sempurna bagi Bank Mandiri untuk menjadi jembatan kedua negara menjalin kerjasama secara langsung. Jika saja operasi kantor cabang itu dibuka sepenuhnya dan tidak dibatasi oleh hukum bisnis yang ketat di sana, maka akan tercipta sebuah kondisi penuh keuntungan dimana Bank Mandiri akan memiliki akses cepat dan langsung ke pasar bisnis Cina.
Keinginan Bank Mandiri yang tampaknya sangat sulit diwujudkan tersebut mulai mendapat angin segar ketika Wakil Presiden Boediono berinisiatif meminta Cina izinkan Bank Mandiri membuka cabangnya secara full-fledged. Pada kunjungan kenegaraannya ke Beijing 17-21 Oktober yang lalu, Boediono sekaligus mengingatkan Perdana Menteri Cina, Wen Jiabau, untuk mempertimbangkan kembali pembukaan kantor cabang operasional Mandiri sebagai ganti telah memberikan kelonggaran bagi pembukaan cabang Bank of China di Jakarta.
Akhirnya pada 3 November 2010, China Banking Regulatory Commision (CBRC) mengizinkan Bank Mandiri untuk membuka kantor cabang operasional yang bersifat total operasionalnya di Shanghai. Pada tahun-tahun sebelumnya, Bank Mandiri sangat sulit untuk membuka kantor cabang operasional di Cina karena izin yang ketat. Untuk itu Bank Mandiri harus menyiapkan dokumen-dokumen berisi prosedur pendirian kantor cabang operasional sesuai peraturan yang berlaku di Shanghai dan menyampaikan aplikasi business permit operasional perbankan kepada CBRC. Kantor cabang ini direncanakan akan beroperasi pada semester pertama tahun 2011 untuk melayani aktivitas perbankan, seperti penghimpunan dana korporasi, penyaluran kredit korporasi, transaksi perdagangan ekspor impor dan remittance. Dan kesuksesan pendirian cabang di Shanghai inilah yang melengkapi jaringan cabang internasional Bank Mandiri di tujuh negara di tiga benua.
Pasca mengantongi izin dari otoritas perbankan Cina tersebut untuk mengizinkan operasi kantor cabangnya secara penuh, Mandiri segera memperkuat ekspansi bisnisnya dengan menggandeng Industrial and Commercial Bank of China Limited (ICBC), yang merupakan bank terbesar di Cina dan peringkat ketigabelas dunia. Bentuk kerjasama tersebut berupa dukungan ICBC terhadap kantor cabang Mandiri di Shanghai dalam bentuk Renminbi Settlement dan Treasury. Dan sekali lagi, tujuan kerjasama Bank Mandiri kali ini adalah untuk memastikan bahwa hubungan bisnis antara Indonesia dan Cina dapat meningkat dan tumbuh lebih baik lagi.
Lebih jauh lagi, terkhusus untuk kantor cabang di luar negeri, Bank Mandiri berencana menambah kantor cabang internasional di Malaysia dari enam outlet yang masih terbatas pada jasa pengiriman uang, menjadi lima belas di tahun 2011. Rencana ini padahal bisa terlaksana pada akhir tahun 2010. Namun lagi-lagi karena terkendala aturan dari Bank Sentral Malaysia, penambahan kantor outlet ini pun harus ditunda. Dan sampai sekarang belum diketahui apa alasan Bank Sentral Malaysia menundanya.
Padahal di negeri jiran ini, potensi pasar yang didominasi oleh TKI ini masih besar dan tidak hanya terpusat di Kuala Lumpur. Mandiri bermaksud untuk lebih merambah daerah sekitar yang masih belum tergarap dengan merencanakan membuka cabang penuh di sana, tapi salah satu persyaratan sulit untuk mendapat izin membentuk kantor cabang penuh adalah bermodalkan 300 juta ringgit.
Analisa Situasi dan Kondisi
Pertama-tama yang patut diperhatikan adalah tentang adanya situasi tawar-menawar antara Boediono dengan PM Cina, yang ada hubungannya dengan asas legal dan kerjasama bilateral. Pertimbangan lainnya yang ada selain “politik balas jasa” di sini yaitu jika ingin mempererat hubungan antar negara maka hendaknya bisa menciptakan sebuah sistem yang mempercepat perdagangan bilateral-swap. Jadi aktivitas bisnis internasional antara Indonesia dengan Cina bisa langsung dengan menggunakan mata uang yuan dan rupiah tanpa harus melalui penukaran mata uang dolar amerika. Dengan demikian kerjasama bilateral yang lebih intim akan terjamin dan kemungkinan bagi Indonesia untuk segera menancapkan salah satu kekuatannya ke lingkaran BRIC akan semakin besar. Walaupun untuk itu, kelonggaran peraturan bisnis yang ada harus dilandasi dan dipengaruhi oleh adanya pertukaran kepentingan antar pemerintah dan politik luar negeri.
Kedua, yang menjadi keprihatinan bersama dalam negeri yang sangat menghambat ekspansi banyak perusahaan Indonesia untuk melakukan ekspansi ke luar negeri, adalah perbedaan ketat tidaknya peraturan yang kita miliki jika dibandingkan dengan peraturan di luar negeri. Memang banyak jenis industri yang mengalami hal serupa, namun makalah ini akan lebih memfokuskan pada masalah di industri perbankan.
Indonesia adalah salah satu dari tiga negara, selain Korea Selatan dan Argentina, yang memiliki keterbukaan berlebih dalam sistem perbankannya Banyak sekali bank asing yang dengan derasnya masuk ke Indonesia, dan terlihat sangat mudah untuk berekspansi ke negeri ini, baik itu melalui pembukaan cabang secara normal atau melalui persentase kepemilikan di beberapa perusahaan strategis. Di negeri ini bank asing bisa memiliki 99 persen saham untuk dimiliki.
Namun, keterbukaan yang diterapkan di Indonesia ini tidak berlaku sebaliknya di luar negeri. Dan hal ini sangat menyulitkan bank-bank nasional, yang ironisnya juga harus bertahan mati-matian untuk mengembangkan daya saingnya dari gempuran luar negeri, untuk melakukan ekspansi yang sangat sering dikeluhkan dan menjadi tantangan terberat mereka. Dari kasus Bank Mandiri di atas kita bisa melihat adanya kesulitan yang dialami mereka untuk melakukan ekspansi secara penuh di Cina dan Malaysia, dimana mereka selalu terbelit-belit dengan masalah peraturan maupun Memorandum of Understanding (MoU).
Banyak izin berlapis-lapis harus dipenuhi pihak Bank Mandiri untuk membuka cabang di Cina, dan itu juga masih belum langsung bisa melaksanakan transaksi Reminbi. Sedangkan di Indonesia tidak ada izin berlapis setebal dan sekokoh itu. Mereka bisa mengumpulkan dana dari masyarakat, melayani transaksi valas, menyalurkan kredit, dan sebagainya. Yang amat disayangkan adalah sebanyak 49 persen saham sepuluh bank besar di Indonesia dikuasai asing, kecuali Bank Mandiri dan BCA.
Bank sentral kita juga memberikan kemudahan bagi investor asing untuk membeli bank-bank lokal tanpa harus menyuntik modal hingga tiga triliun rupiah. Bank-bank yang dimiliki asing tersebut juga mendapatkan perlakuan yang sama dalam berekspansi. Kondisi ini menguatkan predikat Indonesia sebagai tamu asing di negerinya sendiri, sebuah ironi di atas berbagai usaha yang dilakukan untuk memperkuat daya saing internasional perusahaan-perusahaan Indonesia di dunia internasional.
Di bawah kepemimpinan Zulkifli Zaini, Direktur Utama Bank Mandiri saat ini, Bank Mandiri mendeklarasikan kesiapannya sebagai salah satu ujung tombak bagi Indonesia untuk bisa memajukan kerja sama internasional. Salah satunya dengan bergabung dalam China-ASEAN Interbank Association (CAIBA) sebagai langkah strategis untuk meningkatkan peran Bank Mandiri di kawasan ASEAN. Dengan membuka peluang bisnis dari kawasan ASEAN dan Cina ke Indonesia, diharapkan akan sejalan dengan langkah strategis Mandiri yang ingin menjadi top five di tahun 2014 dan top three bank ASEAN di tahun 2020 dan mempunyai cabang di dunia internasional lebih banyak lagi.
Salah satu tembok terbesar yang harus dihadapi Bank Mandiri adalah penetrasi pasarnya ke negeri tirai bambu, Republik Rakyat Cina, yang menjadi salah satu kekuatan ekonomi raksasa yang tergabung dalam The Big Four yang siap untuk mengungguli kedigdayaan Amerika Serikat. Apalagi letak geografis dan pertumbuhan perekonomian Indonesia menjadi kawasan strategis yang mempunyai pengaruh secara politik kedua negara ini, Amerika Serikat dan Cina. Namun akhir-akhir ini, kerjasama bilateral strategis antara ASEAN dengan Cina menjadi prioritas utama bagi Indonesia, dan paling tidak ini juga bisa menjadi salah satu kesempatan bagi Bank Mandiri untuk memantapkan positioningnya sebagai wakil perwujudan Indonesia di dunia perbankan internasional. Dan sekali lagi, dengan menjejakkan kaki bisnisnya ke Cina, itu akan menjadi sebuah langkah yang sangat signifikan.
CAIBA merupakan inisiatif bersama antara China Development Bank (CBD) dengan bank utama di wilayah ASEAN untuk meningkatkan kerjasama perbankan Cina dan negara-negara ASEAN dalam membayai pembangunan infrastruktur di negara-negara ASEAN. Tentu saja yang diharapkan oleh Bank Mandiri adalah perkembangan kerjasama yang baik antara perbankan Indonesia dan Cina dalam menyalurkan pembiayaan yang produktif.
Sebenarnya sejak tahun 2003, dimana waktu itu E.C.W. Neloe masih menjabat sebagai Presiden dan CEO Bank Mandiri, telah dilakukan pembukaan kantor perwakilan luar negeri yang berada di Shanghai, Cina. Kantor tersebut diplot untuk bisa memfasilitasi pertukaran informasi dalam bidang perdagangan dan kesempatan berinvestasi antara dua negara ini. Dan aktivitas itu akan melibatkan dari tingkat individu-individu sampai dengan tingkat korporasi.
Sebenarnya Bank Mandiri telah memiliki kantor cabang di Cina sejak 2007, namun operasionalnya masih terbatas dan tidak bisa memiliki hak untuk meningkatkan pembiayaan pihak ketiga di Cina. Kondisi itu juga tidak bisa dikatakan sebagai kondisi yang sempurna bagi Bank Mandiri untuk menjadi jembatan kedua negara menjalin kerjasama secara langsung. Jika saja operasi kantor cabang itu dibuka sepenuhnya dan tidak dibatasi oleh hukum bisnis yang ketat di sana, maka akan tercipta sebuah kondisi penuh keuntungan dimana Bank Mandiri akan memiliki akses cepat dan langsung ke pasar bisnis Cina.
Keinginan Bank Mandiri yang tampaknya sangat sulit diwujudkan tersebut mulai mendapat angin segar ketika Wakil Presiden Boediono berinisiatif meminta Cina izinkan Bank Mandiri membuka cabangnya secara full-fledged. Pada kunjungan kenegaraannya ke Beijing 17-21 Oktober yang lalu, Boediono sekaligus mengingatkan Perdana Menteri Cina, Wen Jiabau, untuk mempertimbangkan kembali pembukaan kantor cabang operasional Mandiri sebagai ganti telah memberikan kelonggaran bagi pembukaan cabang Bank of China di Jakarta.
Akhirnya pada 3 November 2010, China Banking Regulatory Commision (CBRC) mengizinkan Bank Mandiri untuk membuka kantor cabang operasional yang bersifat total operasionalnya di Shanghai. Pada tahun-tahun sebelumnya, Bank Mandiri sangat sulit untuk membuka kantor cabang operasional di Cina karena izin yang ketat. Untuk itu Bank Mandiri harus menyiapkan dokumen-dokumen berisi prosedur pendirian kantor cabang operasional sesuai peraturan yang berlaku di Shanghai dan menyampaikan aplikasi business permit operasional perbankan kepada CBRC. Kantor cabang ini direncanakan akan beroperasi pada semester pertama tahun 2011 untuk melayani aktivitas perbankan, seperti penghimpunan dana korporasi, penyaluran kredit korporasi, transaksi perdagangan ekspor impor dan remittance. Dan kesuksesan pendirian cabang di Shanghai inilah yang melengkapi jaringan cabang internasional Bank Mandiri di tujuh negara di tiga benua.
Pasca mengantongi izin dari otoritas perbankan Cina tersebut untuk mengizinkan operasi kantor cabangnya secara penuh, Mandiri segera memperkuat ekspansi bisnisnya dengan menggandeng Industrial and Commercial Bank of China Limited (ICBC), yang merupakan bank terbesar di Cina dan peringkat ketigabelas dunia. Bentuk kerjasama tersebut berupa dukungan ICBC terhadap kantor cabang Mandiri di Shanghai dalam bentuk Renminbi Settlement dan Treasury. Dan sekali lagi, tujuan kerjasama Bank Mandiri kali ini adalah untuk memastikan bahwa hubungan bisnis antara Indonesia dan Cina dapat meningkat dan tumbuh lebih baik lagi.
Lebih jauh lagi, terkhusus untuk kantor cabang di luar negeri, Bank Mandiri berencana menambah kantor cabang internasional di Malaysia dari enam outlet yang masih terbatas pada jasa pengiriman uang, menjadi lima belas di tahun 2011. Rencana ini padahal bisa terlaksana pada akhir tahun 2010. Namun lagi-lagi karena terkendala aturan dari Bank Sentral Malaysia, penambahan kantor outlet ini pun harus ditunda. Dan sampai sekarang belum diketahui apa alasan Bank Sentral Malaysia menundanya.
Padahal di negeri jiran ini, potensi pasar yang didominasi oleh TKI ini masih besar dan tidak hanya terpusat di Kuala Lumpur. Mandiri bermaksud untuk lebih merambah daerah sekitar yang masih belum tergarap dengan merencanakan membuka cabang penuh di sana, tapi salah satu persyaratan sulit untuk mendapat izin membentuk kantor cabang penuh adalah bermodalkan 300 juta ringgit.
Analisa Situasi dan Kondisi
Pertama-tama yang patut diperhatikan adalah tentang adanya situasi tawar-menawar antara Boediono dengan PM Cina, yang ada hubungannya dengan asas legal dan kerjasama bilateral. Pertimbangan lainnya yang ada selain “politik balas jasa” di sini yaitu jika ingin mempererat hubungan antar negara maka hendaknya bisa menciptakan sebuah sistem yang mempercepat perdagangan bilateral-swap. Jadi aktivitas bisnis internasional antara Indonesia dengan Cina bisa langsung dengan menggunakan mata uang yuan dan rupiah tanpa harus melalui penukaran mata uang dolar amerika. Dengan demikian kerjasama bilateral yang lebih intim akan terjamin dan kemungkinan bagi Indonesia untuk segera menancapkan salah satu kekuatannya ke lingkaran BRIC akan semakin besar. Walaupun untuk itu, kelonggaran peraturan bisnis yang ada harus dilandasi dan dipengaruhi oleh adanya pertukaran kepentingan antar pemerintah dan politik luar negeri.
Kedua, yang menjadi keprihatinan bersama dalam negeri yang sangat menghambat ekspansi banyak perusahaan Indonesia untuk melakukan ekspansi ke luar negeri, adalah perbedaan ketat tidaknya peraturan yang kita miliki jika dibandingkan dengan peraturan di luar negeri. Memang banyak jenis industri yang mengalami hal serupa, namun makalah ini akan lebih memfokuskan pada masalah di industri perbankan.
Indonesia adalah salah satu dari tiga negara, selain Korea Selatan dan Argentina, yang memiliki keterbukaan berlebih dalam sistem perbankannya Banyak sekali bank asing yang dengan derasnya masuk ke Indonesia, dan terlihat sangat mudah untuk berekspansi ke negeri ini, baik itu melalui pembukaan cabang secara normal atau melalui persentase kepemilikan di beberapa perusahaan strategis. Di negeri ini bank asing bisa memiliki 99 persen saham untuk dimiliki.
Namun, keterbukaan yang diterapkan di Indonesia ini tidak berlaku sebaliknya di luar negeri. Dan hal ini sangat menyulitkan bank-bank nasional, yang ironisnya juga harus bertahan mati-matian untuk mengembangkan daya saingnya dari gempuran luar negeri, untuk melakukan ekspansi yang sangat sering dikeluhkan dan menjadi tantangan terberat mereka. Dari kasus Bank Mandiri di atas kita bisa melihat adanya kesulitan yang dialami mereka untuk melakukan ekspansi secara penuh di Cina dan Malaysia, dimana mereka selalu terbelit-belit dengan masalah peraturan maupun Memorandum of Understanding (MoU).
Banyak izin berlapis-lapis harus dipenuhi pihak Bank Mandiri untuk membuka cabang di Cina, dan itu juga masih belum langsung bisa melaksanakan transaksi Reminbi. Sedangkan di Indonesia tidak ada izin berlapis setebal dan sekokoh itu. Mereka bisa mengumpulkan dana dari masyarakat, melayani transaksi valas, menyalurkan kredit, dan sebagainya. Yang amat disayangkan adalah sebanyak 49 persen saham sepuluh bank besar di Indonesia dikuasai asing, kecuali Bank Mandiri dan BCA.
Bank sentral kita juga memberikan kemudahan bagi investor asing untuk membeli bank-bank lokal tanpa harus menyuntik modal hingga tiga triliun rupiah. Bank-bank yang dimiliki asing tersebut juga mendapatkan perlakuan yang sama dalam berekspansi. Kondisi ini menguatkan predikat Indonesia sebagai tamu asing di negerinya sendiri, sebuah ironi di atas berbagai usaha yang dilakukan untuk memperkuat daya saing internasional perusahaan-perusahaan Indonesia di dunia internasional.
Label:
bisnis,
ekonomi,
management,
opini,
strategic
Jumat, 04 Februari 2011
Bank Mandiri : Tantangan Internasional dan Peran Strategis bagi Indonesia untuk Melengkapi Kekuatan BRIC (Bagian Pertama)
Profil dan Perjalanan Bisnis Bank Mandiri
Bank Mandiri adalah salah satu bank swasta paling terkemuka di Indonesia yang memberikan pelayanan perbankan untuk segmen bisnis korporasi, komersial, mikro-retail, consumer finance, serta perbendaharaan dan perbankan internasional. Bank Mandiri memiliki anak-anak perusahaan yang menopang lini bisnis utamanya, semacam Mandiri Sekuritas (jasa pasar modal), Bank Syariah Mandiri (perbankan syariah), AXA-Mandiri Financial Services (asuransi jiwa), Bank Sinar Harapan Bali, dan Mandiri Tunas Finance (jasa keuangan).
Bank Mandiri memiliki sebuah visi besar, yaitu menjadi satu-satunya bank yang paling dikagumi, paling progresif, dan paling terpercaya. Visi itu didukung oleh beberapa misi, yaitu menjadi bank yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pasar, meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia, memberikan hasil dan keuntungan yang maksimal bagi para stakeholder, melaksanakan manajemen terbuka, dan kepedulian terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar.
Bank Mandiri pada awalnya merupakan merger dari empat bank pemerintah yang diselesaikan pada Juli tahun 1999, yaitu Bank Dagang Negara, Bank Bumi Daya, Bank Exim, dan Bank Pembangunan Indonesia. Robby Djohan saat itulah yang menjadi nahkoda kepemimpinan di Bank Mandiri. Ia berkeinginan untuk menjadikan bank ini sekelas, bahkan melebihi, Citibank yang pada waktu itu tercatat sebagai salah satu bank terbaik di dunia internasional. Yang dimaksud adalah, operasional Mandiri harus disesuaikan dengan standar bank-bank terbaik di tingkat dunia, baik dalam kualitas pelayanan, produk-produk yang ditawarkan maupun sistemnya. Dan sejak awal, mantan bankir Citibank ini telah memilih positioning Mandiri sebagai retail banking, seperti Citibank dan BCA, yang waktu itu sudah memiliki posisi kuat dalam pasar retail dan consumer banking di Indonesia.
Namun, banyak juga tantangan yang harus dihadapi oleh Bank Mandiri, salah satunya adalah kondisi makro ekonomi yang saat itu sedang kacau balau akibat badai krisi dan kredit macet negara yang menumpuk. Selain itu, mengubah karakter asli dari yang semula adalah corporate banking menjadi retail banking juga tidak bisa semudah membalikkan telapak tangan. Hal itu dikarenakan kultur perusahaan yang sebelum terjadi merger telah terbiasa menangani perusahaan-perusahaan yang berskala besar.
Cita-cita untuk menjadikan Mandiri bisa bersaing di level internasional dan global tersebut tidak berhenti begitu saja ketika Robby turun dari posisi tertingginya. Agus Martowardojo, bawahan sekaligus anak didik Robby yang pernah menempati Executive Vice President Manajemen Risiko Kredit dan Restrukturisasi saat Robby masih menjadi atasan, menjadi ahli warisnya yang mampu membawa perubahan signifikan pada Bank Mandiri.
Salah satunya adalah pencapaian pada semester pertama tahun 2009, tentang dana tabungan yang mencapai 97,1 triliun rupiah yang sudah tak jauh beda dengan pencapaian BCA yang mencapai 101 triliun rupiah pada Juni 2009. Sedangkan di bisnis kartu kredit, Bank Mandiri telah mencetak 1,6 juta sampai dengan kuartal ketiga 2009. Dan bisa dibandingkan dengan Citibank yang sudah bertahun-tahun menjadi raja kartu kredit di Indonesia, jumlah kartu yang diterbitkan baru 1,3 juta unit. Untuk memperkuat posisinya sebagai retail banking, Mandiri juga fokus melayani kredit UM-KM. Sampai September 2009, jumlah nasabah UM-KM mencapai 437.872 nasabah, dua kalinya tahun lalu. Sementara total penyaluran kredit bertumbuh 18,6% menjadi 25,51 triliun rupiah sampai September 2009.
Total aset bank Mandiri per September 2009 sebesar 365,5 triliun rupiah, naik 50 triliun rupiah dibandingkan tahun lalu. Yang patut diacungi jempol adalah tingkat rasio kredit bermasalahnya (NPL) menurun drastis berkat keberhasilan restrukturisasi kredit macetnya. Di akhir 2005, NPL bruto Mandiri mencapai 25,2% dan pada kuartal ketiga tahun 2009 hanya 3,8%. Angka itu sudah dibawah ketentuan maksimal Bank Indonesia yaitu sebesar 5%.
Selain dari data statistik finansial itu, perubahan juga terjadi pada struktur perusahaan yang diubah menjadi Strategic Business Unit (SBU) yang artinya setiap direktorat perusahaan harus berfokus pada value perusahaan. Lalu juga pada bagian roles and responsibility, ruang lingkup dan tanggung jawabnya menjadi berbeda. Kemudian ada juga perubahan sistem manajemen performanya, yang ditandai dengan pembaharuan Key Performance Indicator (KPI), cara evaluasi, targetnya, serta sistem reward yang menentukan tepat tidaknya seseorang menempati posisi tertentu.
Perubahan yang dibawa oleh Agus Martowardojo adalah perubahan yang bersifat substansial dan paling mendasar. Selain itu juga secara holistis dan menyeluruh, baik itu pada mindset maupun perilaku yang terjadi. Perubahan itu berkaitan dengan kultur perusahaan yang dikelola dan direformasi dengan baik oleh direktorat khusus bernama Change Management. Ia membuat anggota direksi menjadi cukup besar dan semuanya bekerja dengan sangat efektif. Selain itu, ia juga mengambil banyak karyawan profesional dari bank asing maupun beberapa konsultan yang ada. Dengan demikian, itu bisa membuat tata nilai di Bank Mandiri berubah banyak dan menjadi penuh dengan integritas. Ditambah dengan aspek Good Corporate Governance yang meliputi transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, keadilan, dan independensi, yang sudah diakui sejajar dengan penerapan GCG di perusahaan-perusahaan dalam Grup Astra.
Perubahan itu bermula pada tahun 2005, ketika dilakukan pengajian untuk menentukan arah bank ini dalam lima tahun ke depan. Hasilnya, diputuskan bahwa di tahun 2010 nantinya Mandiri sudah harus menjadi bank yang sudah menguasai pasar berlevel Asia Tenggara. Artinya, Mandiri juga harus bisa bersaing dengan bank di kawasan ASEAN seperti Maybank dari Malaysia, DBS dari Singapura, atau Bangkok Bank. Salah satu indikatornya adalah kapitalisasi pasar yang harus mencapai US$ 10 Miliar.
Perkembangan terakhir sejak bulan Desember 2010 kemarin, Bank Mandiri sudah memperkerjakan lebih dari 240 ribu karyawan di 1.296 cabang dan tujuh kantor perwakilan di luar negeri (Singapura, Hong Kong, Cayman Island, Timor Leste, Inggris, Malaysia, dan terakhir di Cina). Saluran-saluran distribusi pelayanan yang digunakan Bank Mandiri adalah 5.495 ATM milik sendiri, 14.822 ATM bekerja sama dengan jaringan bisnis LINK, 42.728 unit Electronic Data Capture (EDC), dan juga saluran-saluran elektronik seperti Internet Banking, SMS Banking, dan Call Center 14000.
Rencananya, Mandiri akan menambah jumlah cabang dengan total mencapai 520 unit. Ini terdiri dari 250 kantor cabang, 70 unit mikro dan 200 kios mikro. Sedangkan target kredit mikro tahun 2011 mencapai 11,4 triliun rupiah.
BRIC dan Indonesia
BRIC merupakan singkatan dari empat negara berkembang yang paling berpengaruh besar dalam skala perekonomian global, yaitu Brazil, Rusia, India, dan Cina. BRIC adalah istilah yang diperkenalkan Jim O’Neill sebagai bentuk antisipasi akan kemunculan negara-negara yang punya ukuuran perekonomian yang bisa menandingi ukuran perekonomian negara maju dunia, semacam Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman.
Pada tahun 2001, Goldman Sachs, sebuah bank investasi internasional, menganggap bahwa Cina sangat memungkinkan untuk menjadi penguasa ekonomi global terbesar sebelum tahun 2030. Secara kolektif, kondisi ekonomi BRIC juga bisa saja mengungguli hasil output dari negara-negara kaya di Group of Seven—yang telah mendominasi manajemen ekonomi global—pada tahun 2032.
BRIC telah memiliki market share yang lebih besar daripada Amerika Serikat sendiri. Alasannya adalah Cina, yang menyumbangkan peran sebagai salah satu eksportir global terbesar tahun lalu, kemudian digabungkan dengan ekspor perangkat lunak dari India, kemudian ekspor minyak dan gas bumi dari Rusia, dan juga dominasi pasar agrikultur dari para petani yang super kompeten dari Brazil. Inilah yang sering membuat para investor global beranggapan bahwa BRIC tak ubah layaknya “The Promised Land” bagi mereka semua.
Indonesia sendiri sudah diperhitungkan oleh Goldman Sachs sebagai salah satu kelompok negara N-11, yaitu kelompok negara yang diperkirakan juga akan memiliki ukuran perekonomian yang akan bisa menandingi negara-negara terbesar dalam perekonomian versi tahun 2001, alias BRIC. Termasuk di dalamnya ada Korea Selatan dan Mexico yang juga memiliki performa perekonomian yang bagus dan juga berhasil menarik perhatian dunia. Namun N-11 sendiri bukan merupakan ukuran panduan investasi yang pasti dan menarik bagi para investor global, mengingat ada beberapa negara yang masih berjuang secara mencolok seperti Bangladesh juga masuk di dalam N-11. Dan itu juga masih bukan merupakan kebanggaan tersendiri untuk negara-negara yang ada di dalamnya. Tidak bisa ditawar-tawar lagi, untuk dapat menjadi pemain bisnis internasional yang tulen dan patut diperhitungkan secara pasti, usaha-usaha agar menjadi pantas mendampingi BRIC adalah harga mati.
Upaya mengaitkan Indonesia dengan BRIC sudah terjadi sejak pertengahan 2009 lalu, dimana pada saat itu Indonesia bukan hanya dapat meminimalisir dampak krisis keuangan global tapi juga mencatat pertumbuhan yang cukup tinggi. Bulan Juli 2010 pun, Morgan Stanley yang merupakan pesaing dari Goldman Sachs tanpa ragu mengusulkan Indonesia untuk dimasukkan ke dalam tambahan BRIC pada tahun 2011, jika berhasil mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 7% per tahun. Namun, kali ini tantangan besar kembali diberikan oleh Goldman Sachs, bahwa Indonesia akan memenuhi syarat jika GDP-nya berhasil mencapai 3% dari GDP dunia. Tak pelak lagi, ini bagaikan sebuah bendera start yang sangat menjanjikan bagi Indonesia. Pelan tapi pasti, investor asing mulai menyerbu negeri kita ini, bahkan tidak peduli meski ada kegaduhan politik di penghujung tahun 2009 lalu.
Dalam suatu event bertajuk Bank Mandiri Economic Forum, Profesor Xavier Sala-i Martin yang adalah Ketua Penasehat Global Competitiveness Network dari Forum Ekonomi Global, sempat melontarkan pernyataan bahwa Indonesia mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan keempat negara BRIC tersebut. Dalam hal indeks daya saing global, Indonesia (ranking 44) memiliki posisi yang lebih bagus daripada Brazil (ranking 58), Rusia (ranking 63), dan India (ranking 51). Ia juga mengatakan bahwa Indonesia memiliki cadangan devisa dan kapital yang lebih banyak untuk mempertahankan pertumbuhan ekonominya, walaupun masih ketinggalan jauh dengan Cina. Dalam hal infrastruktur, Indonesia menempati urutan keempat diatas india, jika dilakukan perbandingan dengan keempat negara tersebut.
Sementara itu terdapat beberapa fakta mengenai relasi bisnis internasional yang semakin bertambah erat antara Cina dengan Indonesia. Cina telah sejak lama menjadi investor terbesar di Indonesia sejak 1998; setelah Inggris dan Singapura. Cina adalah partner perdagangan Indonesia yang terbesar keempat, setelah Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura. Antara tahun 1999 dan 2003, total ekspor dari Indonesia ke Cina rata-rata tumbuh 16,8% per tahun. Di dalam sepuluh bulan pertama tahun 2003, total perdagangan antara dua negara ini mencapai US$ 5,49 miliar. Ekspor Indonesia sendiri mencapai US$ 3,04 miliar, sedangkan impor mencapai US$ 2,45 miliar.
Bank Mandiri adalah salah satu bank swasta paling terkemuka di Indonesia yang memberikan pelayanan perbankan untuk segmen bisnis korporasi, komersial, mikro-retail, consumer finance, serta perbendaharaan dan perbankan internasional. Bank Mandiri memiliki anak-anak perusahaan yang menopang lini bisnis utamanya, semacam Mandiri Sekuritas (jasa pasar modal), Bank Syariah Mandiri (perbankan syariah), AXA-Mandiri Financial Services (asuransi jiwa), Bank Sinar Harapan Bali, dan Mandiri Tunas Finance (jasa keuangan).
Bank Mandiri memiliki sebuah visi besar, yaitu menjadi satu-satunya bank yang paling dikagumi, paling progresif, dan paling terpercaya. Visi itu didukung oleh beberapa misi, yaitu menjadi bank yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pasar, meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia, memberikan hasil dan keuntungan yang maksimal bagi para stakeholder, melaksanakan manajemen terbuka, dan kepedulian terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar.
Bank Mandiri pada awalnya merupakan merger dari empat bank pemerintah yang diselesaikan pada Juli tahun 1999, yaitu Bank Dagang Negara, Bank Bumi Daya, Bank Exim, dan Bank Pembangunan Indonesia. Robby Djohan saat itulah yang menjadi nahkoda kepemimpinan di Bank Mandiri. Ia berkeinginan untuk menjadikan bank ini sekelas, bahkan melebihi, Citibank yang pada waktu itu tercatat sebagai salah satu bank terbaik di dunia internasional. Yang dimaksud adalah, operasional Mandiri harus disesuaikan dengan standar bank-bank terbaik di tingkat dunia, baik dalam kualitas pelayanan, produk-produk yang ditawarkan maupun sistemnya. Dan sejak awal, mantan bankir Citibank ini telah memilih positioning Mandiri sebagai retail banking, seperti Citibank dan BCA, yang waktu itu sudah memiliki posisi kuat dalam pasar retail dan consumer banking di Indonesia.
Namun, banyak juga tantangan yang harus dihadapi oleh Bank Mandiri, salah satunya adalah kondisi makro ekonomi yang saat itu sedang kacau balau akibat badai krisi dan kredit macet negara yang menumpuk. Selain itu, mengubah karakter asli dari yang semula adalah corporate banking menjadi retail banking juga tidak bisa semudah membalikkan telapak tangan. Hal itu dikarenakan kultur perusahaan yang sebelum terjadi merger telah terbiasa menangani perusahaan-perusahaan yang berskala besar.
Cita-cita untuk menjadikan Mandiri bisa bersaing di level internasional dan global tersebut tidak berhenti begitu saja ketika Robby turun dari posisi tertingginya. Agus Martowardojo, bawahan sekaligus anak didik Robby yang pernah menempati Executive Vice President Manajemen Risiko Kredit dan Restrukturisasi saat Robby masih menjadi atasan, menjadi ahli warisnya yang mampu membawa perubahan signifikan pada Bank Mandiri.
Salah satunya adalah pencapaian pada semester pertama tahun 2009, tentang dana tabungan yang mencapai 97,1 triliun rupiah yang sudah tak jauh beda dengan pencapaian BCA yang mencapai 101 triliun rupiah pada Juni 2009. Sedangkan di bisnis kartu kredit, Bank Mandiri telah mencetak 1,6 juta sampai dengan kuartal ketiga 2009. Dan bisa dibandingkan dengan Citibank yang sudah bertahun-tahun menjadi raja kartu kredit di Indonesia, jumlah kartu yang diterbitkan baru 1,3 juta unit. Untuk memperkuat posisinya sebagai retail banking, Mandiri juga fokus melayani kredit UM-KM. Sampai September 2009, jumlah nasabah UM-KM mencapai 437.872 nasabah, dua kalinya tahun lalu. Sementara total penyaluran kredit bertumbuh 18,6% menjadi 25,51 triliun rupiah sampai September 2009.
Total aset bank Mandiri per September 2009 sebesar 365,5 triliun rupiah, naik 50 triliun rupiah dibandingkan tahun lalu. Yang patut diacungi jempol adalah tingkat rasio kredit bermasalahnya (NPL) menurun drastis berkat keberhasilan restrukturisasi kredit macetnya. Di akhir 2005, NPL bruto Mandiri mencapai 25,2% dan pada kuartal ketiga tahun 2009 hanya 3,8%. Angka itu sudah dibawah ketentuan maksimal Bank Indonesia yaitu sebesar 5%.
Selain dari data statistik finansial itu, perubahan juga terjadi pada struktur perusahaan yang diubah menjadi Strategic Business Unit (SBU) yang artinya setiap direktorat perusahaan harus berfokus pada value perusahaan. Lalu juga pada bagian roles and responsibility, ruang lingkup dan tanggung jawabnya menjadi berbeda. Kemudian ada juga perubahan sistem manajemen performanya, yang ditandai dengan pembaharuan Key Performance Indicator (KPI), cara evaluasi, targetnya, serta sistem reward yang menentukan tepat tidaknya seseorang menempati posisi tertentu.
Perubahan yang dibawa oleh Agus Martowardojo adalah perubahan yang bersifat substansial dan paling mendasar. Selain itu juga secara holistis dan menyeluruh, baik itu pada mindset maupun perilaku yang terjadi. Perubahan itu berkaitan dengan kultur perusahaan yang dikelola dan direformasi dengan baik oleh direktorat khusus bernama Change Management. Ia membuat anggota direksi menjadi cukup besar dan semuanya bekerja dengan sangat efektif. Selain itu, ia juga mengambil banyak karyawan profesional dari bank asing maupun beberapa konsultan yang ada. Dengan demikian, itu bisa membuat tata nilai di Bank Mandiri berubah banyak dan menjadi penuh dengan integritas. Ditambah dengan aspek Good Corporate Governance yang meliputi transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, keadilan, dan independensi, yang sudah diakui sejajar dengan penerapan GCG di perusahaan-perusahaan dalam Grup Astra.
Perubahan itu bermula pada tahun 2005, ketika dilakukan pengajian untuk menentukan arah bank ini dalam lima tahun ke depan. Hasilnya, diputuskan bahwa di tahun 2010 nantinya Mandiri sudah harus menjadi bank yang sudah menguasai pasar berlevel Asia Tenggara. Artinya, Mandiri juga harus bisa bersaing dengan bank di kawasan ASEAN seperti Maybank dari Malaysia, DBS dari Singapura, atau Bangkok Bank. Salah satu indikatornya adalah kapitalisasi pasar yang harus mencapai US$ 10 Miliar.
Perkembangan terakhir sejak bulan Desember 2010 kemarin, Bank Mandiri sudah memperkerjakan lebih dari 240 ribu karyawan di 1.296 cabang dan tujuh kantor perwakilan di luar negeri (Singapura, Hong Kong, Cayman Island, Timor Leste, Inggris, Malaysia, dan terakhir di Cina). Saluran-saluran distribusi pelayanan yang digunakan Bank Mandiri adalah 5.495 ATM milik sendiri, 14.822 ATM bekerja sama dengan jaringan bisnis LINK, 42.728 unit Electronic Data Capture (EDC), dan juga saluran-saluran elektronik seperti Internet Banking, SMS Banking, dan Call Center 14000.
Rencananya, Mandiri akan menambah jumlah cabang dengan total mencapai 520 unit. Ini terdiri dari 250 kantor cabang, 70 unit mikro dan 200 kios mikro. Sedangkan target kredit mikro tahun 2011 mencapai 11,4 triliun rupiah.
BRIC dan Indonesia
BRIC merupakan singkatan dari empat negara berkembang yang paling berpengaruh besar dalam skala perekonomian global, yaitu Brazil, Rusia, India, dan Cina. BRIC adalah istilah yang diperkenalkan Jim O’Neill sebagai bentuk antisipasi akan kemunculan negara-negara yang punya ukuuran perekonomian yang bisa menandingi ukuran perekonomian negara maju dunia, semacam Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman.
Pada tahun 2001, Goldman Sachs, sebuah bank investasi internasional, menganggap bahwa Cina sangat memungkinkan untuk menjadi penguasa ekonomi global terbesar sebelum tahun 2030. Secara kolektif, kondisi ekonomi BRIC juga bisa saja mengungguli hasil output dari negara-negara kaya di Group of Seven—yang telah mendominasi manajemen ekonomi global—pada tahun 2032.
BRIC telah memiliki market share yang lebih besar daripada Amerika Serikat sendiri. Alasannya adalah Cina, yang menyumbangkan peran sebagai salah satu eksportir global terbesar tahun lalu, kemudian digabungkan dengan ekspor perangkat lunak dari India, kemudian ekspor minyak dan gas bumi dari Rusia, dan juga dominasi pasar agrikultur dari para petani yang super kompeten dari Brazil. Inilah yang sering membuat para investor global beranggapan bahwa BRIC tak ubah layaknya “The Promised Land” bagi mereka semua.
Indonesia sendiri sudah diperhitungkan oleh Goldman Sachs sebagai salah satu kelompok negara N-11, yaitu kelompok negara yang diperkirakan juga akan memiliki ukuran perekonomian yang akan bisa menandingi negara-negara terbesar dalam perekonomian versi tahun 2001, alias BRIC. Termasuk di dalamnya ada Korea Selatan dan Mexico yang juga memiliki performa perekonomian yang bagus dan juga berhasil menarik perhatian dunia. Namun N-11 sendiri bukan merupakan ukuran panduan investasi yang pasti dan menarik bagi para investor global, mengingat ada beberapa negara yang masih berjuang secara mencolok seperti Bangladesh juga masuk di dalam N-11. Dan itu juga masih bukan merupakan kebanggaan tersendiri untuk negara-negara yang ada di dalamnya. Tidak bisa ditawar-tawar lagi, untuk dapat menjadi pemain bisnis internasional yang tulen dan patut diperhitungkan secara pasti, usaha-usaha agar menjadi pantas mendampingi BRIC adalah harga mati.
Upaya mengaitkan Indonesia dengan BRIC sudah terjadi sejak pertengahan 2009 lalu, dimana pada saat itu Indonesia bukan hanya dapat meminimalisir dampak krisis keuangan global tapi juga mencatat pertumbuhan yang cukup tinggi. Bulan Juli 2010 pun, Morgan Stanley yang merupakan pesaing dari Goldman Sachs tanpa ragu mengusulkan Indonesia untuk dimasukkan ke dalam tambahan BRIC pada tahun 2011, jika berhasil mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 7% per tahun. Namun, kali ini tantangan besar kembali diberikan oleh Goldman Sachs, bahwa Indonesia akan memenuhi syarat jika GDP-nya berhasil mencapai 3% dari GDP dunia. Tak pelak lagi, ini bagaikan sebuah bendera start yang sangat menjanjikan bagi Indonesia. Pelan tapi pasti, investor asing mulai menyerbu negeri kita ini, bahkan tidak peduli meski ada kegaduhan politik di penghujung tahun 2009 lalu.
Dalam suatu event bertajuk Bank Mandiri Economic Forum, Profesor Xavier Sala-i Martin yang adalah Ketua Penasehat Global Competitiveness Network dari Forum Ekonomi Global, sempat melontarkan pernyataan bahwa Indonesia mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan keempat negara BRIC tersebut. Dalam hal indeks daya saing global, Indonesia (ranking 44) memiliki posisi yang lebih bagus daripada Brazil (ranking 58), Rusia (ranking 63), dan India (ranking 51). Ia juga mengatakan bahwa Indonesia memiliki cadangan devisa dan kapital yang lebih banyak untuk mempertahankan pertumbuhan ekonominya, walaupun masih ketinggalan jauh dengan Cina. Dalam hal infrastruktur, Indonesia menempati urutan keempat diatas india, jika dilakukan perbandingan dengan keempat negara tersebut.
Sementara itu terdapat beberapa fakta mengenai relasi bisnis internasional yang semakin bertambah erat antara Cina dengan Indonesia. Cina telah sejak lama menjadi investor terbesar di Indonesia sejak 1998; setelah Inggris dan Singapura. Cina adalah partner perdagangan Indonesia yang terbesar keempat, setelah Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura. Antara tahun 1999 dan 2003, total ekspor dari Indonesia ke Cina rata-rata tumbuh 16,8% per tahun. Di dalam sepuluh bulan pertama tahun 2003, total perdagangan antara dua negara ini mencapai US$ 5,49 miliar. Ekspor Indonesia sendiri mencapai US$ 3,04 miliar, sedangkan impor mencapai US$ 2,45 miliar.
Label:
bisnis,
ekonomi,
management,
opini,
strategic
CSR : Siapa Penerus William Soerjadjaja? (Bagian Terakhir)
Kesimpulan
Selain CSR perusahaan yang telah dibahas sebelumnya, masih banyak contoh yang lain. Misalnya saja, Bogasari yang menggandeng dan mendampingi pertumbuhan para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah berbasis terigu sebagai bagian dari integrasi CSR mereka dengan supply chain management di tingkat kebijakan strategis. Kalau para pembeli utama mereka sukses karena bantuan mereka, maka akan tercipta relasi saling menguntungkan yang berkelanjutan.
Lalu selanjutnya ada Unilever yang juga mengusung strategi CSR yang nyaris sama dengan Bogasari, namun hanya alur rantainya saja yang terbalik. Mereka melakukan pendampingan terhadap para petani keledai yang menjadi supplier utama mereka. Sebagai pengelola merek terkenal, yaitu kecap bango, yang juga memiliki tingkat demand yang tinggi, kualitas produksi biji kacang yang dipanen serta kelancaran distribusi ke pabriknya menjadi syarat mutlak.
Selain SGC pun, juga ada beragam perusahaan yang mendasarkan pendidikan sebagai dasar kebijakan CSR nya. Program ini bisa memfokuskan diri pada edukasi bagi generasi mendatang, pengembangan kewirausahaan, pendidikan finansial, maupun pelatihan-pelatihan. Misalnya saja PT Astra Internasional yang kali ini telah membentuk Politeknik Manufaktur Astra yang menelan dana puluhan milyar dan juga Yayasan LP3I yang mendiversifikasi lini usahanya menjadi bentuk universitas, bimbel, maupun course center bersertifikasi profesional. Lalu ada HM Sampoerna dengan Sampoerna Foundation yang telah mengucurkan dana tak kurang dari 47 miliar serta PT. Djarum yang turut andil dalam berbagai beasiswa di banyak perguran tinggi serta beasiswa di cabang olahraga bulutangkis.
Isu CSR sepatutnya tidak hanya dilakukan atas dasar dorongan kemanusiaan yang biasanya bersumber dari norma dan etika universal untuk menolong sesama dan memperjuangkan pemerataan sosial, melainkan harus dinaikkan tingkatnya menjadi level kebijakan yang lebih makro dan riil.
Biarkan masyarakat yang menilai sendiri apakah suatu perusahaan layak untuk terus bertahan hidup atau tidak. Dengan perilaku CSR yang demikian baik pada masyarakat sekitarnya, meskipun ada yang namanya ketidakstabilan politik maupun kemerosotan moral dan sosial atau lain-lainnya di perusahaan pusatnya dan cabang-cabangnya di seluruh Indonesia, yang akan membela perusahaan itu pastilah masyarakat sekitar mereka sendiri. Karena pada siapa lagi mereka menggantungkan nasib pendapatan tetapnya selain pada perusahaan yang sudah mempedulikan mereka sedemikian besarnya, jika itu dipandang dari sudut pandang karyawan?
Sangat mudah untuk melakukan CSR, sebenarnya. Asalkan perusahaan sadar bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat sendiri dan apa yang terjadi pada masyarakat adalah masalah mereka juga, maka tidak butuh waktu lama untuk melakukan brainstorming CSR macam apa yang akan dilakukan. Kontribusi perusahaan untuk mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial di negeri ini adalah yang paling penting dan berharga di mata masyarakat.
Memang tidak segampang membalikkan tangan, untuk memperbandingkan CSR yang dicontohkan oleh William Soerjadjaja dengan perusahaan-perusahaan pada zaman sekarang. Kasusnya berbeda tingkatan, struktur masyarakat yang terlibat sudah berbeda, dan paradigma yang dianut tiap pengusaha juga berbeda. Banyak perusahaan yang sudah melakukan CSR dengan usaha terbaik mereka, namun juga siapa tahu banyak juga perusahaan yang melakukannya untuk menutupi kesalahan mereka. Sekali lagi, di zaman informasi yang ditandai dengan kemudahan mengakses data dan fakta yang tersembunyi sekalipun, masyarakat kita juga sudah bisa menilai apakah perusahaan-perusahaan yang ada sudah menjalankan CSR mereka dengan baik atau tidak.
Sudah jelas bahwa CSR sangat bermanfaat untuk masyarakat dan dapat meningkatkan image perusahaan, maka sudah seharusnya dunia usaha Indonesia masa kini tidak memandang CSR sebagai tuntutan represif yang memberatkan mereka, melainkan sebagai sebagai kebutuhan dunia usaha agar tetap bisa melaksanakan sustainability development program usahanya dan sustainability social responsibility sebagai penyempurnanya.
Selain CSR perusahaan yang telah dibahas sebelumnya, masih banyak contoh yang lain. Misalnya saja, Bogasari yang menggandeng dan mendampingi pertumbuhan para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah berbasis terigu sebagai bagian dari integrasi CSR mereka dengan supply chain management di tingkat kebijakan strategis. Kalau para pembeli utama mereka sukses karena bantuan mereka, maka akan tercipta relasi saling menguntungkan yang berkelanjutan.
Lalu selanjutnya ada Unilever yang juga mengusung strategi CSR yang nyaris sama dengan Bogasari, namun hanya alur rantainya saja yang terbalik. Mereka melakukan pendampingan terhadap para petani keledai yang menjadi supplier utama mereka. Sebagai pengelola merek terkenal, yaitu kecap bango, yang juga memiliki tingkat demand yang tinggi, kualitas produksi biji kacang yang dipanen serta kelancaran distribusi ke pabriknya menjadi syarat mutlak.
Selain SGC pun, juga ada beragam perusahaan yang mendasarkan pendidikan sebagai dasar kebijakan CSR nya. Program ini bisa memfokuskan diri pada edukasi bagi generasi mendatang, pengembangan kewirausahaan, pendidikan finansial, maupun pelatihan-pelatihan. Misalnya saja PT Astra Internasional yang kali ini telah membentuk Politeknik Manufaktur Astra yang menelan dana puluhan milyar dan juga Yayasan LP3I yang mendiversifikasi lini usahanya menjadi bentuk universitas, bimbel, maupun course center bersertifikasi profesional. Lalu ada HM Sampoerna dengan Sampoerna Foundation yang telah mengucurkan dana tak kurang dari 47 miliar serta PT. Djarum yang turut andil dalam berbagai beasiswa di banyak perguran tinggi serta beasiswa di cabang olahraga bulutangkis.
Isu CSR sepatutnya tidak hanya dilakukan atas dasar dorongan kemanusiaan yang biasanya bersumber dari norma dan etika universal untuk menolong sesama dan memperjuangkan pemerataan sosial, melainkan harus dinaikkan tingkatnya menjadi level kebijakan yang lebih makro dan riil.
Biarkan masyarakat yang menilai sendiri apakah suatu perusahaan layak untuk terus bertahan hidup atau tidak. Dengan perilaku CSR yang demikian baik pada masyarakat sekitarnya, meskipun ada yang namanya ketidakstabilan politik maupun kemerosotan moral dan sosial atau lain-lainnya di perusahaan pusatnya dan cabang-cabangnya di seluruh Indonesia, yang akan membela perusahaan itu pastilah masyarakat sekitar mereka sendiri. Karena pada siapa lagi mereka menggantungkan nasib pendapatan tetapnya selain pada perusahaan yang sudah mempedulikan mereka sedemikian besarnya, jika itu dipandang dari sudut pandang karyawan?
Sangat mudah untuk melakukan CSR, sebenarnya. Asalkan perusahaan sadar bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat sendiri dan apa yang terjadi pada masyarakat adalah masalah mereka juga, maka tidak butuh waktu lama untuk melakukan brainstorming CSR macam apa yang akan dilakukan. Kontribusi perusahaan untuk mengurangi kemiskinan dan kesenjangan sosial di negeri ini adalah yang paling penting dan berharga di mata masyarakat.
Memang tidak segampang membalikkan tangan, untuk memperbandingkan CSR yang dicontohkan oleh William Soerjadjaja dengan perusahaan-perusahaan pada zaman sekarang. Kasusnya berbeda tingkatan, struktur masyarakat yang terlibat sudah berbeda, dan paradigma yang dianut tiap pengusaha juga berbeda. Banyak perusahaan yang sudah melakukan CSR dengan usaha terbaik mereka, namun juga siapa tahu banyak juga perusahaan yang melakukannya untuk menutupi kesalahan mereka. Sekali lagi, di zaman informasi yang ditandai dengan kemudahan mengakses data dan fakta yang tersembunyi sekalipun, masyarakat kita juga sudah bisa menilai apakah perusahaan-perusahaan yang ada sudah menjalankan CSR mereka dengan baik atau tidak.
Sudah jelas bahwa CSR sangat bermanfaat untuk masyarakat dan dapat meningkatkan image perusahaan, maka sudah seharusnya dunia usaha Indonesia masa kini tidak memandang CSR sebagai tuntutan represif yang memberatkan mereka, melainkan sebagai sebagai kebutuhan dunia usaha agar tetap bisa melaksanakan sustainability development program usahanya dan sustainability social responsibility sebagai penyempurnanya.
Label:
bisnis,
CSR,
industri,
lingkungan,
management,
opini,
strategic
Langganan:
Postingan (Atom)