Selasa, 18 Mei 2010

Sepuluh Kelirumologi Marketing

Salam
Dari Vinko Satrio Pekerti, kepada semua orang yang membaca artikel ini terutama semua awak Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kiranya terbuka wawasan dan pemahaman lebih terhadap dunia marketing bagi Anda sekalian.

Kesalahpahaman tentang Marketing
Bagi sebagian orang—atau bahkan mungkin sebagian besar—yang memiliki sedikit atau tanpa pengalaman nyata marketing sama sekali menganggap marketing sebagai studi tentang penjualan (selling). Mereka yang memiliki pengalaman profesional atau pengalaman akademis saja memandangnya sebagai marketing mix: product, price, place, dan promotion. Terlebih kesempitan cara pandang tersebut diperparah dengan ‘salah tafsir’ bagi para pelaku marketing yang baru (fresh graduate) yang tiba-tiba harus mengalami perpindahan dunia, dari dunia akademisi ke dunia para praktisi yang sekarang sangat dipenuhi chaos atau turbulensi—menjadikan semua ilmu yang dipelajari di kampus atau dimanapun seolah tak banyak membantu.
Sejauh ini—merunut dari apa yang pernah dibicarakan Hermawan Kartajaya pada penulis—ada sepuluh kekeliruan terhadap marketing yang disebut “Sepuluh Kelirumologi Marketing” yang masih melanda semua orang yang terlibat di dalamnya.

Keliru #1  Marketing = Selling = Persuasion = Cheating
Pemasaran itu bukan sekadar penjualan (selling), tetapi membuat pelanggan selalu berpikir tentang kita, membuat pelanggan jatuh cinta kepada kita. Sebelum jatuh cinta, tentunya kita harus membuat orang itu percaya kepada kita terlebih dahulu. Kepercayaan orang adalah fondasi dasar dalam berbisnis. Semakin percaya orang itu pada kita, maka semakin mereka bersedia menyerahkan segalanya kepada kita. Di tengah dunia yang semakin tidak pasti ini, integritas justru semakin penting. Ketika orang semakin meragukan banyak hal, maka kecakapan, profesionalitas, dan yang terpenting, kejujuran, akan menjadi hal yang dibutuhkan.

Keliru #2  Marketing = Promotion = Advertising = Bullshit
Di era keterbukaan ini, perusahaan tidak bisa lagi membual kepada pelanggannya. Informasi tidak bisa berjalan satu arah, dari perusahaan ke pelanggan lagi seperti dulu. Mereka sudah menjadi lebih kritis, tidak akan menelan begitu saja apa-apa yang diiklankan. Tiap produk saling berlomba jurus “kecap saya nomor satu”. Iklan pun jadi kurang dipercaya. Pelanggan akan lebih percaya pada omongan sohib-nya atau bahkan orang yang baru saja dikenal, yang penting sesama pelanggan, karena informasi ini relatif lebih jujur, apa adanya.

Keliru #3  Marketing = MLM = Motivational = Pushing
Tidak semua Multi-Level Marketing (MLM) jelek. Akan tetapi, ada persepsi di kalangan masyarakat bahwa orang MLM seringkali cuma bisa memaksa ketika jualan atau mengajak bergabung. Mereka sering lupa bahwa tidak semua konsumen atau calon frontline/downline sama dan bisa ditawari dengan cara sama. Tidak bisa disalahkan karena banyak MLM yang cuma memotivasi orang-orangnya tanpa diajarkan MARKETING yang sesungguhnya. Jadinya, sering kali over-motivated, tetapi tidak punya strategi (under-strategized). Jeleknya lagi, sering kali MLM yang seperti ini yang dianggap marketing. Padahal, MARKETING mengajarkan kita untuk menjadi ‘kekasih’ pelanggan satu demi satu dan menawarkan produk yang betul-betul diperlukan oleh mereka.

Keliru #4  Marketing = Price War = Discount = Buying More
Sering kali untuk bersaing, perusahaan hanya menawarkan produk yang sama dengan harga yang lebih rendah. Dampak sistemiknya, pesaingnya lalu ikut-ikutan menurunkan harga. Akibatnya, persaingan berdarah-darah1) tidak terhindarkan dan malah bisa memicu kehancuran perusahaan-perusahaan tersebut. Revenue yang diperoleh akan semakin menurun sampai tidak bisa lagi digunakan untuk menutup cost yang dikeluarkan. Selain itu, kita juga mengajarkan pelanggan kita untuk menjadi tidak loyal dan malah jadi switcher alias tukang selingkuh yang bisa pindah ke lain hati karena harga yang lebih murah.

Keliru #5  Marketing = Packaging = Covering = Illusion
Marketing sering disalahartikan sebagai memberi nuansa context pada produk sehingga sering dianggap sebagai kemasan yang menutup-nutupi kelemahan produk itu. Akibatnya orang berpikir bahwa produk jelek bisa laku asal kemasannya bagus. Padahal inti dari Marketing adalah diferensiasi, terdiri dari keunikan context, content, dan infrastructure. Context yang diantaranya termasuk kemasan hanyalah salah satu bagian. Content produk juga harus bagus dan harus ada infrastructure yang mendukung diferensiasi. 2)

Keliru #6  Marketing = Naming = Logo-ing = Designing
Marketing jangan dipahami sebagai proses yang cukup memberi nama, mendesain logo, dan memasangnya pada gedung kantor, produk atau alat komunikasi pemasaran perusahaan yang bersangkutan. Memang, jika berbicara tentang marketing tidak bisa dilepaskan dari sebuah identitas yang jelas. Namun, identitas yang jelas juga berarti adanya karakter dalam cara berinteraksi dengan pihak lain, seperti pelanggan, pemegang saham, pemasok, distributor, karyawan, bahkan juga pesaing. Nama dan logo hanyalah penggambaran dari karakter tersebut.

Keliru #7  Marketing is just for product
Marketing tidak hanya menjual produk, tetapi juga menjual mereka, layanan, ketersediaan barang di pasar, dan lain-lain. Marketing juga bukan sebuah aktivitas yang dimiliki oleh perusahaan yang jualan produk saja. Marketing juga bisa diterapkan pada lingkup yang lebih luas: pemerintahan, yayasan publik, sekolah, daerah, bahkan ada istilah ‘jual diri’ alias Marketing Yourself. Siapa pun dan organisasi apapun, asalkan punya pesaing dan pelanggan, perlu marketing.

Keliru #8  Marketing is just for customer
Perusahaan mempunyai tiga stakeholder utama: Pelanggan yang menggunakan jasa atau produk yang ditawarkan perusahaan, Pemegang Saham yang menenamkan modalnya ke perusahaan, dan Karyawan perusahaan itu sendiri. Maka, pasar bukan hanya commercial market atau pelanggan itu sendiri, melainkan ada dua pasar lain yang vital juga: capital market dimana perusahaan bersaing mendapatkan modal dan competency market dimana perusahaan bersaing untuk mendapatkan karyawan yang berkualitas.

Keliru #9  Marketing is just for a department
David Packard dan Bill Hewlett, yang mendirikan Hewlett-Packard (HP), pernah berujar, “Marketing is too important to be entrusted by Marketing Department”. Marketing seharusnya bukanlah menjadi nama sebuah departemen bagian dalam sebuah organisasi, melainkan harus menjadi disiplin setiap orang dalam organisasi. Everyone must be a marketer and become everyone’s soul. Konsep pemasaran harus menjadi ‘konsep payung’ untuk setiap proses lintas fungsional, ‘konsep direktif’ untuk sang direktur, dan ‘konsep profit’ untuk seluruh stakeholders.

Keliru #10  Marketing is just for big companies
Perusahaan kecil justru harus lincah bergerak setiap saat. Mereka harus berpikir secara cerdik dan berani mengambil langkah-langkah yang berbeda dari kebiasaan umum agar tetap survive. Jika sudah besar pun, tetaplah berpikir seperti perusahaan kecil. Itu akan membuat perusahaan melakukan marketing lebih lincah. Jika sudah menjadi nomor satu, tetaplah berpikir bahwa kita masih nomor dua.

Penutup
Sebagai seorang akademisi sekaligus praktisi, kekeliruan-kekeliruan di atas yang pernah melanda orang-orang yang penulis temui dan malah sering alami, membuat nama Marketing menjadi sesuatu yang jelek. Karena itu, penulis sangat merekomendasikan setiap orang yang membaca artikel ini untuk tidak hanya duduk manis mendengarkan ilmu-ilmu konvensional tanpa mau mempraktekkannya atau berusaha mencari sumber-sumber pembelajaran yang lebih valid digunakan di dunia nyata. Semoga tulisan ini bisa membantu Anda sekalian memahami marketing yang sebenarnya dan semakin mendekatkan diri pada kebenaran yang sejati. Salam Sejahtera Bagi Kita Sekalian. Amin.

Dikutip dari tulisan Hermawan kartajaya di buku Marketing On The Church


***

1) Merujuk pada isi buku Red Ocean Strategy yang menggambarkan pertarungan para pelaku bisnis yang saling merugikan pada akhirnya nanti. Untuk mengetahui solusi menghindarinya baca juga buku Blue Ocean Strategy.
2) Peristiwa yang bisa dijadikan contoh penyalahgunaan kesalahpahaman marketing yang sukses adalah adanya gerakan pencekalan buku komik Naburo di beberapa situs jejaring sosial (ex: facebook) yang oleh para penentangnya, termasuk penulis sendiri, dicap sebagai karya plagiat dari Naruto yang paling berpengaruh terhadap semakin jeleknya cap indonesia sebagai negara plagiatis. Anehnya, buku ini lolos dari pengawasan dan malah semakin bertambah jumlah pendistribusiannya.

Tidak ada komentar: