Rabu, 19 Mei 2010

Keruntuhan Bisnis Konglomerasi ?? - Pemikiran dan Pertanyaan

Ketika saya bandingkan keadaan pada masa saya SD dulu dengan saya yang saat ini sedang kuliah, saya menyadari adanya suatu popular culture yang sangat menonjol: Tempat atau pusat perbelanjaan semacam mall mulai dan sudah menjadi tempat nongkrong dan bukan lagi murni menjadi pusat transaksi modern seperti seharusnya.

Nah, di sini saya jadi mempunyai suatu pemikiran (atau lebih tepatnya kekhawatiran), apakah mungkin bahwa di kemudian hari bisnis konglomerasi akan runtuh dan tidak diinginkan lagi?

Kenapa saya berpikiran seperti ini? Pertama, kenyataan bahwa sebagian besar orang-orang yang mengunjungi mall adalah pengacara alias pengangguran banyak acara. Pengangguran di sini juga setidaknya ada dua arti: orang yang benar-benar tidak punya duit, hanya sekedar nongkrong eksis dan orang yang punya duit tapi bukan dari penghasilan sendiri. Oke, kita fokus pada tipe pertama saja, karena mereka yang punya pengaruh besar di balik kekhawatiran saya.

Berdasarkan ilmu antropologi, fenomena popular culture tersebut kebanyakan dipicu oleh kaum perempuan. Sejak dulu, di indonesia ini terutama, kaum perempuan selalu diplot untuk menjadi seorang shopper untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Namun itu dulu dan jika punya uang. Sekarang yang terjadi adalah perpaduan antara pergeseran paradigma dan ketidakmampuan untuk menghilangkan budaya patriakis tersebut. Kaum perempuan yang dipenuhi oleh semangat emansipasi berpikir bahwa hidup mereka bukan hanya sebagai 'pelengkap' saja. Ada kemungkinan itulah yang menyebabkan perpaduan sebagai berikut: mereka tidak bisa menghapus peran budaya sebagai shopper namun mereka bisa mengubah cara pikir mereka untuk tidak bershopping di mall-mall dan menggantinya sebagai tempat untuk ber-eksis ria. Oleh karenanya, ada uang atau tidak mereka akan tetap berkumpul bersama sobat-sobat mereka di tempat-tempat semacam itu. Dan tambahan lagi, kaum pria juga ikut-ikutan melakukannya.

Kedua, adalah terjadinya turn-over yang cukup besar dari beberapa gerai di berbagai mall. Sekedar mengingatkan, mall (seperti citraland atau matahari semarang) termasuk bisnis konglomerasi yang gampangnya, anda mempunyai sebuah lahan plus gedung yang besar dan luas, kemudian anda mengikat kontrak dengan berbagai jenis industri maupun bentuk usaha lainnya untuk membuka gerainya di gedung yang anda miliki agar terjadi proses jual-beli yang lebih modern dan mudah. Sekarang, jika para pengunjung kebanyakan hanya nongkrong disana, apakah terjadi transaksi pasar? Jawabannya, mungkin ya, tapi kebanyakan hanya pada gerai-gerai makanan. Yang lainnya? Hanya segelintir pengunjung yang masuk ke gerai mereka, itupun tidak menjadi jaminan bahwa mereka akan membeli sesuatu. Lihat contoh Ramayana Semarang yang tutup pada januari 2010 dan akan diganti dengan Ace Hardware & Index Furnishing karena sedikitnya kuota transaksi yang terjadi.



Ketiga, kecenderungan bahwa semakin banyak mall di suatu kota dan terpusat akan mengakibatkan penurunan jumlah pengunjung di suatu mall yang lain. Untuk yang satu ini saya juga menemukan pola yang aneh. Ambil contoh Paragon City dan DP Mall di Semarang (maklum, kota kelahiran saya sih). Ketika Paragon City mulai dibuka banyak orang berduyun-duyun datang dan menyebabkan DP Mall menjadi lebih sepi. Padahal keduanya berada pada satu jalan yang sama! --> Meskipun letaknya ujung ke ujung. Sehingga, calon pengunjung yang mempunyai duit akan lebih leluasa berbelanja ke sana. Namun, sebuah mall yang sepi pengunjung, meskipun hampir pasti membeli, tetap tidak bisa menjadi tolok ukur bagi banyak gerai di sana untuk mempertahankan bisnisnya di sana. Sebuah mall yang kehilangan Crowd Spot-nya tidak bisa membangun sebuah citra sebagai pusat perbelanjaan yang potensial untuk bisnis dan berinteraksi dengan pelanggan yang lebih emosional.



Mungkin pembicaraan ini akan ngelantur ke arah konsumtivisme (saya tidak menggunakan istilah konsumerisme karena sebenarnya itu dipakai sebagai suatu istilah yang menunjukkan pengetahuan pemasaran terhadap konsumen mereka --> Satu lagi kelatahan bahasa kita yang akut), oleh karena itu saya akan hentikan sampai di sini. Apakah kekhawatiran saya cukup beralasan? Lalu meskipun tidak beralasan, apakah yang bisa menjadi counter meassure dari fenomena sosial ini bagi keselamatan bisnis sejenis ini?

Saya menunggu komentar anda ataupun usul dan kritik dari anda, apapun itu karena saya sendiri sangat gundah gulana dengan pemikiran saya ini. Sementara itu, saya akan mencoba mencari jawabannya sendiri dan siapa tahu saya akan menghadirkannya kembali pada anda.

Tidak ada komentar: